Skip to main content

Posts

Showing posts from 2011

Friedmanomics: Hapus Subsidi Pendidikan Tinggi!

Membaca judul di atas, tentu banyak yang bertanya-tanya, “Apa yang salah dengan subsidi pendidikan tinggi?” “Bukankah kebijakan itu baik untuk menyediakan kesempatan kuliah bagi semua orang Indonesia?” “Dan bukankah semakin banyak yang berkuliah akan semakin baik bagi bangsa ini?” Berikut sebuah pemaparan mengenai mengapa seyogyanya subsidi pendidikan tinggi dihapuskan. Menurut Milton Friedman, subsidi kuliah adalah kebijakan yang regresif, di mana terjadi perpindahan kekayaan dari si miskin ke si kaya. Di Indonesia, saya rasa pernyataan ini sama validnya. Ada dua jenis mahasiswa di Indonesia: mereka yang berasal dari keluarga yang mampu dan memiliki orang tua yang berpenghasilan tinggi, dan mereka yang akan menjadi orang mampu dan berpenghasilan tinggi di masa depan sebagai akibat dari pendidikan tinggi yang sedang dijalaninya. Memang ada juga sebagian mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu yang setelah lulus pun hidupnya tetap tidak berkecukupan, tapi toh jumlahnya sedik

Lokalisasi Demonstrasi untuk Kehidupan Kota Lebih Baik

Karakteristik utama dari negara yang menjunjung tinggi demokrasi seperti Indonesia adalah (katanya) kebebasan berpendapat. Dalam konstitusi kita pun tertera “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Salah satu pemanfaatan hak tersebut adalah dengan kegiatan demonstrasi atau aksi, yakni turun ke jalan dengan sejumlah spanduk dan poster, serta berisikan juga orasi dari beberapa “tokoh” massa yang berdemo tersebut. Memang dapat dikatakan demonstrasi maksudnya baik, namun rasanya banyak juga eksternalitas negatif yang ditimbulkan kegiatan ini. Kemacetan adalah salah satunya. Di tengah sistem lalu lintas kota Jakarta yang carut marut, adanya demonstrasi di suatu tempat akan memperkeruh keadaan. Akibatnya, masyarakat pengguna jalan yang dirugikan. Belum lagi jika para demonstran tidak berlaku tertib dan justru rusuh, makin berabe semuanya. Layaknya prostitusi, perjudian dan hal-hal lain yang memiliki eksternalitas negatif bagi masyarakat, menur

Biaya SP Rp 250 ribu/sks? Sudah Seharusnya

Belakangan ini kampus Fakultas Ekonomi UI dibuat gonjang-ganjing oleh isu kenaikan biaya semester pendek dari Rp 200 ribu / sks menjadi Rp 250 ribu /sks. Kenaikan sebesar 25% ini dinilai banyak pihak terlalu membebani mahasiswa, apalagi pengumuman kenaikan ini disinyalir diputuskan tanpa adanya dialog dengan elemen mahasiswa. BEM FEUI bahkan memasang petisi besar-besaran di Batang FEUI mengajak mahasiswa menolak kenaikan biaya SP tersebut. Untuk saya sebagai pribadi, tentu kenaikan biaya SP tidak menyenangkan., karena saya harus membayar lebih mahal untuk mengambil SP. Tetapi jika saya melepas ego pribadi dan coba melihat kenaikan SP ini dari luar, saya rasa kenaikan biaya SP menjadi Rp 250 ribu/sks adalah suatu kebijakan yang tepat. Mengapa demikian? Yang saya ingin garisbawahi adalah bahwa SP sifatnya adalah luxury. Ia tidak wajib, ia dapat diambil untuk mengulang/mencuci mata kuliah yang sudah diambil, atau menyodok mata kuliah baru agar dapat lulus lebih cepat, atau agar semest

Legalisasi Perjudian, Sebuah Wacana

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman $$$___$$$$ Sebelum dilarang dengan UU no 7 tahun 1974, perjudian baik skala kecil maupun besar telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Jakarta di bawah Gubernur Ali Sadikin pun mengalami pembangunan hebat dengan berbekalkan “uang judi”. Tentu banyak keuntungan yang akan didapatkan jika perjudian kembali dilegalkan. Pertanyaannya, apakah keuntungan yang akan didapatkan bangsa ini tatkala perjudian kembali dilegalkan lebih besar daripada kerugiannya? Pertama-tama sebagai disclaimer, dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas perkara moral dan keagamaan, karena perdebatan itu tidak akan ada habisnya. Yang akan penulis bahas lebih ke dampak ekonomi dan sosial yang akan terjadi jika judi dilegalkan. Perjudian, sebagaimana juga prostitusi, adalah suatu hal yang tidak akan pernah bisa dihilangkan dari kehidupan manusia, di mana pun berada. Pelarangannya hanya akan membuat industri perjudian marak di bawah tanah. Perputaran u

Mengatasi Kemacetan Jakarta, Ubah Budaya!

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Kemacetan kota Jakarta sudah sangat mengkhawatirkan. Di titik-titik tertentu bahkan setiap pagi dan sore saat rush hour nyaris tak bergerak. Seseorang yang tinggal di daerah Jakarta Selatan dan bekerja di Jalan Sudirman, misalnya, bisa menghabiskan 2-3 jam sehari dalam perjalanan. Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang sehat dalam kehidupan perkotaan. Banyak wacana yang telah dikemukakan untuk mengatasi kemacetan Jakarta ini, seperti perbaikan sistem transportasi umum. Gubernur Sutiyoso sempat mengajukan grand design- nya dengan adanya busway , subway , monorail , kereta rel listrik (KRL), dan transportasi air. Sayang di masa penerusnya Gubernur Fauzi Bowo, yang diteruskan hanya busway[1] , yang lain terbengkalai karena satu dan lain hal. Solusi yang sekarang sedang gencar dicoba oleh Pemda DKI adalah penambahan ruas jalan, yakni dengan membangun mega-flyover di atas Jalan Antasari dan Jalan Dr. Satrio. Selain itu, pemerintah pusat juga berencana

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Perlukah Meng-Outsource Penegak Hukum di Indonesia?

Kasus Gayus yang mewarnai tahun 2010 benar-benar menggemparkan. Kasus ini membuat nyata bahwa ada yang tidak beres di institusi-institusi penegakkan hukum di Indonesia, khususnya di kepolisian. Keluar masuk penjara sebanyak puluhan kali, ditambah dengan berpelancong ke Bali, bahkan ke luar negeri seperti Macau dan Singapura benar-benar menunjukkan betapa bobroknya Kepolisian Republik Indonesia. Semua ini menunjukkan ada yang benar-benar bobrok di penegakkan hukum di negeri ini. Segala hal dapat dibeli dengan uang. Pertanyaannya adalah, apakah ini semua salah ‘oknum’, atau memang sistemnya yang korup? Sepertinya jawabannya adalah yang belakang. Coba saja anda melanggar lalu lintas, berapa banyak polantas yang menolak anda ajak damai? Memang sistemnya sudah korup. Hal ini membuat suatu hal yang sebenarnya cukup gila terbersit di otak saya. Bagaimana jika Indonesia meng-outsourse aparat kepolisian? Ya, menggunakan orang asing untuk memimpin Kepolisian Republik Indonesia. Ini berarti dar

#ganaik

Oke, sebenarnya ini twit series aja. Tapi biar lebih abadi gue copas di notes aja, sekalian supaya bisa dinikmatin yang ga punya Twitter. Hope you like it. :) Bagi adik2 yg masih SMA, gue mau nge-twit tentang analisis ekonomi kerugian kuantitatif tidak naik kelas. #ganaik 1. Buat yang bilang hilang usia setahun gak rugi apa2, cobalah dipikir lagi. Rugi loh kalo dihitung2. #ganaik 2. Asumsi utama, usia pensiun sama. Taruhlah 65 tahun, misalnya. Ceteris paribus. #ganaik 4. Jadi kalo #ganaik, kita akan rugi pendapatan 1 tahun terakhir kita, yang paling besar di antara pendapatan2 kita. 5. Inflasi tidak perlu dianggap karena toh gaji ikut naik seiring inflasi. Jadi bicara tingkat harga skrg aja. #ganaik 6. Taruhlah kita sukses (harus dong), pendapatan sebulan 50 jt. Artinya setahun itu kita kehilangan 600 jt rupiah. #ganaik 7. Itulah cost yang harus kita bayar kalau kita #ganaik kelas. Memang asumsinya banyak, tapi intinya begitu. Lumayan kan. Waduh nomer 3 ketinggalan. Intinya: ce