Skip to main content

Legalisasi Perjudian, Sebuah Wacana

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman


$$$___$$$$
Sebelum dilarang dengan UU no 7 tahun 1974, perjudian baik skala kecil maupun besar telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Jakarta di bawah Gubernur Ali Sadikin pun mengalami pembangunan hebat dengan berbekalkan “uang judi”. Tentu banyak keuntungan yang akan didapatkan jika perjudian kembali dilegalkan. Pertanyaannya, apakah keuntungan yang akan didapatkan bangsa ini tatkala perjudian kembali dilegalkan lebih besar daripada kerugiannya?

Pertama-tama sebagai disclaimer, dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas perkara moral dan keagamaan, karena perdebatan itu tidak akan ada habisnya. Yang akan penulis bahas lebih ke dampak ekonomi dan sosial yang akan terjadi jika judi dilegalkan.


Perjudian, sebagaimana juga prostitusi, adalah suatu hal yang tidak akan pernah bisa dihilangkan dari kehidupan manusia, di mana pun berada. Pelarangannya hanya akan membuat industri perjudian marak di bawah tanah. Perputaran uang yang begitu besar memungkinkan para mafia judi untuk aman dan terhindar dari jeratan penegak hukum, baik aparat berwenang maupun aparat tidak berwenang (angry mobs seperti FPI dan FBR, misalnya). Jadi jelas sebenarnya kalau pelarangan perjudian tidak efektif, dan jauh lebih baik diatur daripada dilarang, sehingga sebagian pemasukkan industri perjudian bisa masuk ke kas negara, dan dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat banyak.


Ya, sudah disebutkan di atas, “uang judi” itu jumlahnya luar biasa besar. Di DKI Jakarta saja setahun disinyalir mencapai angka 40 triliun rupiah (Tempo, 2005). Hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan APBD DKI Jakarta yang sekitar 24 triliun rupiah. Itu baru di Jakarta, belum yang di daerah, belum yang on line. Hal ini jelas menunjukkan bahwa suka atau tidak perjudian masih merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Selain judi ketangkasan, judi bola juga sangat besar berkembang di Indonesia. Nah, bayangkan jika perjudian dilegalkan dan dipajaki, berapa banyak pendapatan baru negara yang akan didapat.


Itu barulah sedikit keuntungan finansial dari sisi penerimaan pemerintah. Multiplier effectnya ke perekonomian bisa jauh lebih besar lagi. Jika perjudian dilegalkan, didirikannya kasino-kasino dan resminya industri judi dapat melahirkan lapangan kerja yang sangat besar. Pekerjaan yang bisa diciptakan tentu tidak hanya pekerjaan dalam industri judi itu sendiri, tetapi juga sebagai eksternalitas positif kemunculan suatu kegiatan ekonomi yang besar. Restoran-restoran, hotel-hotel, tempat hiburan malamdan berbagai jenis usaha lain dapat ikut muncul dan “menebeng” munculnya aktifitas ekonomi besar dari dilegalkannya perjudian di suatu daerah.



Seru kaannn...

Industri yang kemungkinan besar paling diuntungkan dari legalisasi judi adalah industri pariwisata. Belakangan ini muncul wacana pendirian kasino di Pulau Bintan. Sudah jelas jika kasino didirikan di sana, kunjungan wisatawan akan semakin banyak datang. Sederhananya begini, tempat seperti Genting Highlands di Malaysia yang biasa biasa saja bisa mendatangkan banyak wisatawan untuk berjudi, apalagi tempat-tempat pariwisata Indonesia?


Tentu wacana legalisasi perjudian akan menimbulkan kekhawatiran juga, bahwa akan banyak orang yang menghabiskan uangnya untuk berjudi, sehingga menyebabkan banyak orang yang jatuh miskin dan terbelit hutang karena keasyikan berjudi. Menurut penulis, hal ini adalah risiko pribadi masing-masing individu yang memilih untuk berjudi. Sama hal-nya dengan merokok yang jelas merusak tubuh, tetapi adalah hak setiap orang untuk mengkonsumsinya selama mereka mengetahui risikonya. Mungkin untuk meminimalisir hal ini peringatan terhadap risiko berjudi bisa ditingkatkan, tetapi bukan melarang perjudian sama sekali. Regulasi bisa dibuat sangat ketat agar hanya mereka yang cukup umur yang dapat ikut masuk dan bertaruh di arena kasino.


Akhir kata, manfaat dan keuntungan yang akan didapatkan dari melegalkan perjudian jauh lebih besar daripada mudharatnya, jika diatur dengan baik. Memang akan ada sebagian orang yang jatuh miskin karena perilaku berjudi yang tidak sehat (problem gambling), tetapi lebih banyak lagi orang yang bisa mendapatkan pekerjaan dengan munculnya industri ini. Pendapatan negara yang sangat besar dari judi juga dapat menjadi alasan utama urgensi legalisasi perjudian.


Sudah saatnya bangsa Indonesia bisa membedakan dosa dan kriminal. Berjudi mungkin memang dosa menurut agama tertentu, namun jelas bukan merupakan kejahatan dan tidak ada yang dirugikan. Negara seharusnya cukup mengurus yang kriminal saja, dan perjudian harus segera dilegalkan karena manfaatnya besar. Dan lagi, berjudi juga hak asasi manusia, bung!


Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 2009


Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves