Skip to main content

Bagaimana Seorang Ekonom Mengatasi Praktek Suap [Part 1 of 2]

Mengatasi Praktek Perdamaian dengan Polisi Lalu Lintas

Ada sebuah praktek yang sepertinya “Indonesia banget”, dan hampir selalu kita lakukan dalam berkendara di Ibukota. Berdamai dengan Pak Polisi. Mungkin memang tidak semua orang begitu, dan tentunya juga tidak semua polisi bisa diajak berdamai. Tapi kenyataaannya fenomena ‘perdamaian’ ini sangat lazim terjadi di kota-kota besar di Indonesia.

Ketika kita melanggar lampu merah misalnya, dan diminta berhenti oleh Pak Polisi, pertama-tama ia akan meminta SIM dan STNK kita. Kemudian ia berceramah sedikit tentang kesalahan yang kita lakukan, apakah kita sedang terburu-buru, dan (berpura-pura) akan memberikan surat tilang. Setelah ini biasanya terjadi praktek perdamaian, di mana kita menawarkan (atau Pak Polisi yang menawarkan) agar kita cukup membayar sejumlah uang (sekitar Rp 50 ribu pada tahun 2012 ketika tulisan ini diterbitkan) padanya agar kita dibiarkan pergi. Setelah transaksi terjadi, ia akan mengucapkan “Hati-hati ya Pak, jangan melanggar lalu-lintas lagi”, dan kita akan mengucapkan terimakasih dan pergi.


Transaksi ini menguntungkan bagi baik kita sebagai pelanggar lalu lintas, dan bagi Pak Polisi yang menangkap pelanggaran kita. Kita membayar sangat murah dibandingkan yang harus dibayar di pengadilan jika kita ditilang, dan lebih penting lagi: kita tidak perlu repot-repot berperkara di Pengadilan, menghabiskan satu hari kerja untuk mengantri dan menebus kesalahan kita di pengadilan. Jadi kita diuntungkan sebesar: 1) Perbedaan ongkos tebusan di pengadilan dan uang damai dengan Polisi. 2) Opportunity cost: Penghasilan kita -pada satu hari yang hilang untuk berperkara di pengadilan.

Di sisi lain, Polisi pun sangat diuntungkan. Jika mereka memberi surat tilang, mereka tidak mendapatkan sepeser pun dari pembayaran kita pada negara.

Pihak yang dirugikan, negara, tidak memiliki agen yang berkepentingan dalam kejadian ini untuk mencegah transaksi tersebut terjadi. Negara dirugikan dalam dua hal di kejadian ini. Selain tidak menerima tebusan atas pelanggaran yang dilakukan pengemudi, praktek damai ini juga mengakibatkan hukuman atas pelanggaran lalu lintas underpriced. Akibatnya pelanggaran lalu lintas menjadi semakin marak terjadi.


Bagaimana seorang ekonom coba mengatasi persoalan ini?

Kalo bicara keadaan yang ideal, tentu paling baik adalah bila pelanggaran terdeteksi secara otomatis oleh sensor, dan di akhir bulan kita langsung dikirimkan tagihan biaya pelanggaran tersebut. Itu yang biasa dilakukan di negara-negara maju seperti Singapura dan negara-negara Eropa barat. Tapi tentu masih jauh bagi kita untuk sampai ke sana, dan mari kita bicara solusi yang sederhana namun memungkinkan untuk dilakukan.

Seorang ekonom akan melihat bahwa inti permasalahannya adalah bahwa pelanggaran lalu lintas menjadi underpriced. Dan ini terjadi karena dua hal seperti disebut di atas, ada perbedaan ongkos untuk dibayar yang besar, dan biaya peluang satu hari kerja yang habis di pengadilan. Untuk itu mari kita telaah satu per satu.

Kepolisian Republik Indonesia telah cukup efektif mengatasi problema kedua (biaya peluang sehari di pengadilan) dengan memperkenalkan ‘slip biru’ beberapa tahun yang lalu. Dengan slip biru, kita cukup membayar uang yang ditagih di ATM, lalu pergi mengambil STNK kita yang ditahan di pos polisi terdekat dengan kejadian pelanggaran. Metode slip biru ini memangkas opportunity cost kita dari satu hari di pengadilan menjadi sekitar tiga puluh menit dan hanya perlu pergi ke ATM terdekat, tanpa berpanas-panasan dan tanpa mengantri.

Artinya secara efektif sekarang keuntungan dari kegiatan damai bagi kita menjadi tinggal perbedaan ongkos ditambah 30 menit dan kerepotan mencari ATM untuk membayar slip biru tersebut. Sekarang mari kita coba atasi masalah pertama, perbedaan ongkos yang besar antara berdamai dengan jujur membayar pada negara.

Satu hal yang penting diingat, meningkatkan nominal denda semata justru akan menambah insentif pelanggar untuk mengajak polisi berdamai. Solusi ekonomi untuk mengatasi masalah ini adalah mengurangi perbedaan ongkos antara denda dengan biaya damai. Untuk ini, saya akan menyarankan proposisi berikut: Dari jumlah denda yang dibayarkan kepada negara, berikan seluruhnya pada polisi yang menangkap pengemudi yang melanggar lalu lintas tersebut.

Terdengar gila? Coba kita telaah lagi. Ilustrasinya kurang lebih begini: Ketika kita ditilang karena melanggar lalu lintas dan melakukan pembayaran di ATM, taruhlah nominalnya Rp 250 ribu. Polisi yang menilang kita tinggal menunjukkan bukti penilangan yang ia lakukan, dan negara akan memberikan ia uang sejumlah Rp 250 ribu. Implikasinya luar biasa: polisi tidak akan mau berdamai dengan pelanggar lalu lintas, jika uang damainya kurang dari Rp 250 ribu.

Lebih lagi, bahkan polisi yang rasional akan baru mau berdamai jika mendapat nominal tersebut plus sejumlah premi resiko, karena transaksi tersebut ilegal dan ia bisa dipecat jika ketahuan berdamai. Anggap premi resiko tersebut Rp 25 ribu. Untuk berdamai, seseorang harus merogoh koceknya Rp 275 ribu, sementara untuk membayar tilang di ATM, ia cukup mengeluarkan Rp 250 ribu. Selama kegiatan pergi ke ATM dan kembali untuk mengambil STNK di pos dihargai kurang dari Rp 25 ribu oleh pelanggar, maka ia akan memilih untuk membayar di ATM. Jika masih kurang, maka premi resiko bisa ditingkatkan dengan memberlakukan pengawasan lebih pada polisi lalu-lintas.

Belum selesai. Jumlah denda harus cukup tinggi untuk memastikan probabilitas pengendara memegang uang kas sejumlah itu plus premi resiko cukup kecil. Karena jika untuk membayar damai ia harus ke ATM terlebih dahulu, tentu ia akan memilih membayar langsung ke negara. Dengan demikian dapat tercipta suatu keadaan di mana tidak mungkin orang rasional (dan polisi rasional) memilih berdamai daripada bertindak jujur.

Lalu, negara dapat apa?

Pertanyaan yang sangat legit ditanyakan mengenai solusi ini adalah bahwa jika toh polisi dapat semuanya, negara malah tidak dapat sepeser pun? Padahal dengan aturan awal negara akan dapat sejumlah uang dari mereka yang memang jujur tidak mau berdamai dengan polisi.

Menjawab pertanyaan ini, saya akan bertanya balik: Apa tujuan adanya denda pelanggaran lalu lintas? Jika jawabannya adalah untuk menambah pemasukkan negara, tentu proposisi ini lebih merugikan dibanding status quo. Seluruh denda dalam proposisi ini akan dinikmati oleh polisi, bukan oleh negara.

Tapi jika tujuan penerapan denda pada awalnya adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran lalu lintas, menjadi sebuah detterent factor bagi pelanggar lalu lintas, maka proposisi ini bisa jadi sangat efektif. Bayangkan, ongkos yang harus dibayar sekarang meningkat lima kali lipat (dari Rp 50 ribu menjadi Rp 250 ribu), tanpa meningkatkan nominal denda yang official. Dan lagi aturan ini tidak mungkin mendapat perlawanan politik berarti, karena toh secara legal jumlah denda tetap.

Kalau memang negara harus dapat porsi dari denda yang dibayarkan, maka nominal ditambah hingga suatu angka yang tidak memungkinkan orang membawa cash sebanyak itu dan memaksanya ke ATM. Anggap sekarang kita naikkan menjadi Rp 500 ribu, dan polisi akan mendapatkan Rp 450 ribu dari transaksi tersebut, negara Rp 50 ribu. Hanya jika pelanggar membawa uang cash sejumlah Rp 475 ribu (bagian polisi + premi resiko) bahwa ia mungkin berdamai. Jika tidak dan ia harus ke ATM dulu, ia hanya akan untung Rp 25 ribu jika memilih berdamai. Jauh lebih mudah baginya untuk merelakan Rp 25 ribu tersebut dan membayar langsung ke negara.

Dengan demikian, solusi untuk mengatasi praktek perdamaian atas pelanggaran lalu lintas yang mewarnai kota-kota besar di Indonesia adalah begitu sederhana: mengurangi disparitas antara jujur dan korup, dan secara efektif menghiangkan insentif perilaku korupsi.

---
Tulisan ini akan menjadi bagian dari proyek buku Ilmu Ekonomi FEUI angkatan 2009: “Cuma di Indonesia: Ekonomi Kehidupan Sehari-Hari”

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves