Skip to main content

Mengapa Kualitas Musik Indonesia Menurun Pada Dekade Terakhir


Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, ketika mayoritas dari kita masih berjuang di sekolah dasar, band-band Indonesia jauh lebih berkualitas dari saat ini.

Pernyataan di atas memang sangat subjektif, karena kualitas adalah hal yang relatif bagi setiap orang. Memang ada juga yang menganggap era musik ‘alay’ saat ini lebih berkualitas dari musik di masa sebelumnya, tapi untuk kemudahan hal ini saya kesampingkan terlebih dahulu.

Berikut adalah band-band yang populer di Indonesia sekitar 10-15 tahun yang lalu: Dewa, Sheila on 7, Padi, Jikustik, dan Gigi. Sementara band-band yang populer dalam beberapa tahun terakhir: ST 12, Wali, Kangen, dll. Dalam satu tahun terakhir bahkan blantika musik Indonesia lebih didominasi boyband dan girlband seperti: SM*SH, XO9, Cherrybelle, 7 Icon, dll. Mari kita samakan persepsi terlebih dahulu bahwa band-band 10-15 tahun terakhir lebih berkualitas dari band-band yang populer akhir-akhir ini.

Menurut saya, penurunan kualitas ini dapat dijelaskan dari sudut pandang ekonomi. Saya akan coba mengungkap alasan terjadinya penurunan kualitas dengan membedakannya menjadi faktor pendorong dan faktor penarik.

Yang saya maksud dengan faktor pendorong adalah berkurangnya permintaan akan musik Indonesia berkualitas. Penjelasannya kira-kira seperti ini. Permintaan akan musik Indonesia berkualitas lebih banyak dilakukan oleh warga menengah ke atas. Mereka ini yang 10-15 tahun yang lalu banyak membeli kaset dan CD musik di toko-toko seperti Disctara, Aquarius, Sangaji, dll. Dari sinilah pendapatan utama pemusik dan record label. Belakangan ini seiring dengan perkembangan teknologi, pengunduhan musik dari internet menjadi hal yang sangat mudah dilakukan, apalagi oleh kelas menengah ke atas. Akibatnya, memasarkan musik berkualitas ke orang-orang menengah ke atas tidak lagi menguntungkan, karena tidak akan ada yang bisa bersaing melawan musik gratis yang tersedia dengan mudahnya di dunia maya.

Sementara itu, faktor penarik adalah meningkatnya permintaan akan musik yang kurang berkualitas. Ini terjadi karena adanya peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia; peningkatan pendapatan nasional berakibat pada berpindah kelasnya banyak orang dari kelas miskin ke kelas menengah. Ini membuka pasar baru yang sangat menguntungkan bagi industri musik: pasar Ring Back Tone (RBT). Selain itu, acara-acara promosi bagi musik kurang berkualitas di televisi seperti Dahsyat, DeRings, dan Inbox juga menjadi menguntungkan karena masyarakat kelas menengah baru yang kini memiliki pesawat televisi di rumah mereka.

Kedua faktor ini berimplikasi bahwa akhir-akhir ini jauh lebih menguntungkan untuk memproduksi musik yang kurang berkualitas dibanding yang lebih berkualitas. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika saat ini kita dibanjiri musik-musik yang cenderung alay.

---
Penulis adalah pemerhati perkembangan musik Indonesia yang kebetulan berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 2009



Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves