Skip to main content

Mungkinkah Ahok Mengorganisir Pendukungnya Pasca Pilgub 2017?


Pemilihan Gubernur Jakarta 2019 yang selama setahun belakangan sangat menguras perhatian seluruh khayalak masyarakat Indonesia telah berakhir sudah. Saya ingin memulai tulisan ini dengan memberi ucapan selamat dengan tulus kepada Pak Anies Baswedan dan Pak Sandiaga Uno, walaupun tidak memilih mereka kemarin, sebagai warga Jakarta tentu saya berharap mereka sukses menjalankan tugas dengan baik, karena kesuksesan mereka mengurus Jakarta tentu akan bagus buat saya juga.

Terkait kekalahan Ahok, kita dapat melihat berbagai analisa dan teori mengapa seorang pelayan publik dengan tingkat kepuasan 75% hanya mampu meraup 40% suara dalam pemilihan langsung. Tentu berbagai alasan bermunculan, mulai alasan agama/suku yang berbeda dari mayoritas pemilih, kasus dagelan “penistaan” agama, kasar, dan lain-lain (saya tidak masukkan alasan seperti penggusuran, karena tentu alasan-alasan tersebut sudah termasuk di 25% yang tidak puas dengan pemerintahan Ahok).

Saya melihat banyak pendukung Ahok yang kemudian menjadi pesimis dengan masa depan negara ini, seakan-akan demokrasi telah kalah karena meritokrasi kalah dengan sentimen primordial seperti etnis dan agama. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, tapi tidak juga banyak berguna. Indonesia tidak akan menjadi lebih baik jika kita menjadi pesimis dan apatis terhadap politik, Indonesia bisa menjadi lebih baik jika kita menggunakan kekalahan Ahok ini sebagai momentum untuk mengubah Indonesia ke arah yang lebih baik. Seperti kata Pangeran Siahaan di sini, inilah saatnya untuk mengorganisir diri.

Saya melihat peluang besar di balik kekalahan Ahok pada Pilgub Jakarta 2017 ini. 40% suara memang tidak cukup melanggengkan Ahok ke kursi gubernur, namun jika sebagian saja dari 40% ini berorganisir dengan kokoh, mereka cukup menjadi sebuah kekuatan yang tak dapat dianggap remeh dalam konstelasi politik Indonesia ke depan. Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa argumen mengapa sebaiknya Ahok memanfaatkan momentum ini untuk membentuk/memimpin gerakan politik (bisa partai bisa bukan) yang menyatukan elemen-elemen pendukungnya di Pilgub Jakarta 2017 ini, dan mengapa menurut saya gerakan tersebut akan sudah memiliki peluang yang sangat baik di Pemilihan Umum 2019 yang akan datang.

Jokowi - Prabowo - Ahok Star Wars

Saya ingin memperjelas dulu, saya yakin tidak Ahok akan bisa terpilih menjadi Presiden/Wapres atau bahkan kepala daerah lain di mana pun di Indonesia. Namun ia bisa mengantarkan banyak orang-orang bersih dan profesional untuk masuk ke politik dan terpilih menjadi legislator, kepala daerah, atau Presiden di masa depan. Ini yang harus menjadi tujuannya.
Beberapa alasan mengapa peluang gerakan politik pimpinan Ahok cukup baik di 2019:
  1. Pro-kontra Ahok sepanjang Pilgub kemarin ialah isu nasional, di mana seluruh Indonesia ikut terhanyut dalam hingar-bingar Pilgub DKI. Dukungan terhadap Ahok dan kebencian terhadapnya juga tidak terbatas di Jakarta, namun berskala nasional. Artinya, Ahok sudah punya nama dan dukungan dari seluruh Indonesia, dan itu modal yang sangat baik jika nantinya gerakan pimpinan Ahok berkontes di Pemilu 2019. Kalau dukungan terhadap Ahok di Jakarta sebesar 40%, taruhlah di Indonesia secara umum dukungan terhadapnya sebesar 20%. 20% dukungan terhadap seorang figur 2 tahun sebelum Pemilu sangatlah besar, dan jika setengahnya saja memilih partai/orang-orang di gerakan pimpinan-nya, maka gerakan tersebut akan mendapatkan 10% suara di Pemilu, angka yang lebih tinggi dari semua partai di luar PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat pada Pemilu 2014 kemarin. 
  2. Basis pendukung Ahok terpetakan dengan jelas, orang-orang berpendidikan, kelas menengah, mereka yang cenderung memiliki pemikiran politik yang liberal/progresif, dan kaum minoritas. Sebagian dari mereka ini sebelumnya cenderung apatis, apalagi dalam Pemilu legislatif. Ahok seharusnya bisa menjadi figur yang dapat mengorganisir mereka untuk bergerak bersama sebagai suatu kolektif. Sampaikan bahwa semua calon dari gerakan ini semua telah diseleksi oleh Ahok, dan kesemuanya memiliki nilai-nilai yang sama dengan perjuangan Ahok, dan bahwa semuanya ialah orang-orang bersih yang bisa kerja. 
  3. Untuk memobilisasi basis pendukung Ahok yang kelas menengah terdidik tidak membutuhkan biaya semahal Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, Wiranto atau Prabowo. Ia tidak sebegitunya perlu punya kanal televisi, karena kelas ini justru makin meninggalkan media televisi dan beralih ke media sosial saja untuk mendapatkan hiburan dan berita. Ahok tinggal manfaatkan kanal-kanal sosial media miliknya, seperti yang mulai ia lakukan dengan Ahok Show kemarin. Langkah yang sama sedang dilakukan oleh Bernie Sanders, di mana ia merintis Bernie TV di Facebook untuk terus memobilisasi masyarakat progresif di AS yang kemarin sangat kuat di belakangnya, agar dapat membawa perubahan di Partai Demokrat ke depannya. 
Lalu, apa sebaiknya Ahok mulai mendeklarasikan partai sendiri, atau bergabung ke partai yang sudah ada? Ada beberapa kemungkinan:
  1. Jika ingin berkontes secara langsung di 2019, Ahok dapat bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pimpinan Grace Natalie. Partai ini sejak awal sudah mendompleng popularitas Ahok dengan menjadi yang pertama menyatakan dukungan tanpa syarat untuk Ahok di Pilgub DKI, bahkan sejak Ahok masih kekeuh maju independen bersama Teman Ahok. Tentu ia dapat dengan mudah mendapatkan posisi utama di PSI, yang basis pendukungnya juga sangat beririsan dengan basis pendukung Ahok. 
  2. Jika tidak ingin berkontes langsung di 2019, Ahok dapat memimpin gerakan politik multi-partai, menyatakan dukungan ke orang-orang sevisi yang maju sebagai calon legislatif atau kepala daerah dari partai manapun, dan pastikan basis dukungannya memilih calon-calon ini. Mereka dapat menggunakan stempel ‘didukung Ahok’ untuk meraih suara basis pemilih Ahok. Ini yang juga sedang dilakukan oleh Bernie Sanders, di mana ia ingin memajukan orang-orang dari sayap progresif di Partai Demokrat agar berkontes dan menang. Barulah setelah 2019 Ahok dapat mulai merintis partai politik baru yang pada waktunya akan diisi oleh orang-orang yang sebelumnya telah ia dukung. 
Saya tidak mau terlalu jauh bermimpi, belum tentu bahkan Ahok mau masih berada di politik setelah kontes beracun yang baru saja dialaminya. Bisa jadi ia memilih untuk rehat dari hiruk pikuk ini dan memilih mencari uang saja, misalnya dengan menerima jabatan komisaris dari berbagai perusahaan (perusahaan mana yang tidak mau jadikan Ahok komisaris?). Namun saya sungguh berharap Ahok rela mengambil jalan berat ini untuk menyatukan pendukung-pendukungnya menjadi suatu kekuatan politik yang kuat untuk menjadi alternatif terhadap gerakan politik kanan yang semakin kesini semakin kuat mewarnai demokrasi di Indonesia ini.


Teruskan ikhtiarmu, Koh Ahok!

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves