Membaca judul di atas, tentu banyak yang bertanya-tanya, “Apa yang salah dengan subsidi pendidikan tinggi?” “Bukankah kebijakan itu baik untuk menyediakan kesempatan kuliah bagi semua orang Indonesia?” “Dan bukankah semakin banyak yang berkuliah akan semakin baik bagi bangsa ini?” Berikut sebuah pemaparan mengenai mengapa seyogyanya subsidi pendidikan tinggi dihapuskan.
Menurut Milton Friedman, subsidi kuliah adalah kebijakan yang regresif, di mana terjadi perpindahan kekayaan dari si miskin ke si kaya. Di Indonesia, saya rasa pernyataan ini sama validnya.
Ada dua jenis mahasiswa di Indonesia: mereka yang berasal dari keluarga yang mampu dan memiliki orang tua yang berpenghasilan tinggi, dan mereka yang akan menjadi orang mampu dan berpenghasilan tinggi di masa depan sebagai akibat dari pendidikan tinggi yang sedang dijalaninya. Memang ada juga sebagian mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu yang setelah lulus pun hidupnya tetap tidak berkecukupan, tapi toh jumlahnya sedikit.
Di sisi lain, siapakah yang membiayai pendidikan mereka? Mengambil contoh kasus Universitas Indonesia, biaya pendidikan per mahasiswa adalah 18 juta rupiah untuk rumpun sosial dan 23 juta rupiah untuk rumpun eksakta. Sementara uang kuliah untuk mahasiswa yang tidak mengajukan keringanan hanya 5 juta rupiah (sosial) dan 7,5 juta rupiah (eksakta). Sisanya sebagian dibiayai oleh APBN, oleh uang pajak rakyat. Siapa yang membayar pajak? Seluruh rakyat Indonesia, baik yang telah dan sedang menikmati pendidikan tinggi, maupun mereka yang sama sekali tidak akan merasakan manfaat dari pendidikan tinggi.
Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu jika subsidi pendidikan tinggi dihilangkan, kesempatan mereka yang kurang mampu untuk dapat duduk di bangku kuliah hilang? Tentu bukan begitu maksud tulisan ini. Yang menjadi pembahasan hanyalah sebatas siapa yang harus membiayai kuliah seseorang, apakah dirinya sendiri, ataukah orang lain. Mereka yang kurang mampu dapat membayar biaya kuliah di kemudian hari, ketika sudah bekerja dan berpenghasilan.
Untuk itu sebaiknya pemerintah membuat atau meng-encourage diadakannya mekanisme student loan yang baik di setiap perguruan tinggi negeri, di mana setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkannya. Pada sistem ini mahasiswa dapat memilih berapa besar uang kuliah yang dapat mereka bayar setiap semester, dan sisanya akan dibayarkan setelah bekerja. Jika benar-benar tidak mampu, sang mahasiswa dapat memilih untuk tidak bayar sama sekali selama kuliah. Dengan mekanisme itu, tidak ada lagi mahasiswa yang harus drop out dan tidak ada lagi calon mahasiswa yang tidak jadi berkuliah karena tidak mampu membayar. Dan di sisi lain uang pembayar pajak dapat dialihkan untuk hal-hal yang lebih dinikmati rakyat banyak, seperti bantuan operasional sekolah, pembangunan sarana kesehatan, dan lain-lain.
Ada satu efek positif lain dari penghapusan subsidi pendidikan tinggi ini. ECON101 mengatakan bahwa subsidi menimbulkan inefisiensi. Dalam kasus pendidikan tinggi, inefisiensi yang terjadi adalah bahwa dengan harga yang murah, banyak mahasiswa yang menganggap kuliah tidak begitu penting, dengan sering bolos, dsb. Ada juga yang berkuliah di jurusan A hanya karena dorongan keluarga semata.
Dengan dihilangkannya subsidi dan harga kuliah lebih mahal, orang-orang ini akan berpikir dua kali untuk tidak serius berkuliah, atau memilih jurusan yang tidak benar-benar diinginkannya. Pasar perguruan tinggi akan clear tepat di mahasiswa-mahasiswa yang mem-value pendidikan tinggi tersebut paling besar. Mahasiswa demikian lebih bersungguh-sungguh kuliah, karena mereka mengetahui betapa besar ongkos yang harus dibayarkan ketika telah lulus.
Menurut Milton Friedman, subsidi kuliah adalah kebijakan yang regresif, di mana terjadi perpindahan kekayaan dari si miskin ke si kaya. Di Indonesia, saya rasa pernyataan ini sama validnya.
Ada dua jenis mahasiswa di Indonesia: mereka yang berasal dari keluarga yang mampu dan memiliki orang tua yang berpenghasilan tinggi, dan mereka yang akan menjadi orang mampu dan berpenghasilan tinggi di masa depan sebagai akibat dari pendidikan tinggi yang sedang dijalaninya. Memang ada juga sebagian mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu yang setelah lulus pun hidupnya tetap tidak berkecukupan, tapi toh jumlahnya sedikit.
Di sisi lain, siapakah yang membiayai pendidikan mereka? Mengambil contoh kasus Universitas Indonesia, biaya pendidikan per mahasiswa adalah 18 juta rupiah untuk rumpun sosial dan 23 juta rupiah untuk rumpun eksakta. Sementara uang kuliah untuk mahasiswa yang tidak mengajukan keringanan hanya 5 juta rupiah (sosial) dan 7,5 juta rupiah (eksakta). Sisanya sebagian dibiayai oleh APBN, oleh uang pajak rakyat. Siapa yang membayar pajak? Seluruh rakyat Indonesia, baik yang telah dan sedang menikmati pendidikan tinggi, maupun mereka yang sama sekali tidak akan merasakan manfaat dari pendidikan tinggi.
Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu jika subsidi pendidikan tinggi dihilangkan, kesempatan mereka yang kurang mampu untuk dapat duduk di bangku kuliah hilang? Tentu bukan begitu maksud tulisan ini. Yang menjadi pembahasan hanyalah sebatas siapa yang harus membiayai kuliah seseorang, apakah dirinya sendiri, ataukah orang lain. Mereka yang kurang mampu dapat membayar biaya kuliah di kemudian hari, ketika sudah bekerja dan berpenghasilan.
Untuk itu sebaiknya pemerintah membuat atau meng-encourage diadakannya mekanisme student loan yang baik di setiap perguruan tinggi negeri, di mana setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkannya. Pada sistem ini mahasiswa dapat memilih berapa besar uang kuliah yang dapat mereka bayar setiap semester, dan sisanya akan dibayarkan setelah bekerja. Jika benar-benar tidak mampu, sang mahasiswa dapat memilih untuk tidak bayar sama sekali selama kuliah. Dengan mekanisme itu, tidak ada lagi mahasiswa yang harus drop out dan tidak ada lagi calon mahasiswa yang tidak jadi berkuliah karena tidak mampu membayar. Dan di sisi lain uang pembayar pajak dapat dialihkan untuk hal-hal yang lebih dinikmati rakyat banyak, seperti bantuan operasional sekolah, pembangunan sarana kesehatan, dan lain-lain.
Ada satu efek positif lain dari penghapusan subsidi pendidikan tinggi ini. ECON101 mengatakan bahwa subsidi menimbulkan inefisiensi. Dalam kasus pendidikan tinggi, inefisiensi yang terjadi adalah bahwa dengan harga yang murah, banyak mahasiswa yang menganggap kuliah tidak begitu penting, dengan sering bolos, dsb. Ada juga yang berkuliah di jurusan A hanya karena dorongan keluarga semata.
Dengan dihilangkannya subsidi dan harga kuliah lebih mahal, orang-orang ini akan berpikir dua kali untuk tidak serius berkuliah, atau memilih jurusan yang tidak benar-benar diinginkannya. Pasar perguruan tinggi akan clear tepat di mahasiswa-mahasiswa yang mem-value pendidikan tinggi tersebut paling besar. Mahasiswa demikian lebih bersungguh-sungguh kuliah, karena mereka mengetahui betapa besar ongkos yang harus dibayarkan ketika telah lulus.
Comments
Post a Comment