Sebagai respons dari kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM dan menaikkan harga Premium dari Rp 4500 per liter ke kisaran Rp 6000 per liter, gelombang demonstrasi mahasiswa dari berbagai universitas. Mahasiswa dari IISIP bahkan ada yang mencoba menjadi Sondang kedua dengan membakar dirinya. Bahkan kabarnya ada mahasiswa UI berjaket kuning yang ikut menolak pengurangan subsidi BBM. Fenomena ini akan coba saya telaah dari sudut pandang ekonomi politik.
Sebelumnya, saya bahas dulu sekilas tentang rencana pengurangan subsidi BBM. Mayoritas teman-teman di Fakultas Ekonomi UI sepakat dan sepaham bahwa memang subsidi BBM harus dikurangi, bahkan kalau bisa dihentikan. Selain membebani APBN (hingga 10% APBN untuk subsidi BBM), subsidi ini jelas salah sasaran. Di mana justifikasi sosial dari menggunakan uang pajak masyarakat (kaya dan miskin) untuk membantu membiayai konsumsi bahan bakar kendaraan orang kaya? Semakin banyak kendaraan seseorang, atau semakin sering ia bepergian dengan kendaraan bermotor, semakin besar negara mensubsidi orang tersebut.
Lantas, mengapa mahasiswa yang katanya pembela rakyat kecil malah mendukung sampai mati kebijakan yang justru memindahkan kekayaan dari si miskin ke si kaya?
Disadari atau tidak, para mahasiswa itu bertindak untuk kepentingan diri mereka sendiri. Ada dua jenis mahasiswa: mereka yang memiliki mobil atau motor; dan mereka yang tidak memiliki kendaraan bermotor tetapi sebagai akibat dari pendidikan yang ditempuhnya akan mengalami peningkatan strata sosial dan akhirnya memiliki mobil atau motor. Jadi, tentu Dasar ilmu politik adalah who gets what, dan mahasiswa merupakan salah satu pihak yang diuntungkan dengan subsidi bensin kendaraan bermotor.
Dengan demikian, aksi demonstrasi mahasiswa menentang kenaikan BBM itu dapat dipahami, namun bagi saya tidak dapat dimaklumi. Demonstrasi tersebut dilakukan untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri. Jahatnya walau untuk kepentingan sendiri, mereka mengatasnamakan rakyat. Bukankah rakyat paling miskin di negeri ini tidak menggunakan Premium sama sekali, bahkan tanpa angkot? Mereka yang hidup di pedesaan dan berjalan kaki kemanapun pergi tentu tidak merasakan manfaat subsidi Premium sebesar mereka para mahasiswa.
Poin saya adalah, penolakan pengurangan subsidi BBM ini tidak ada bedanya dengan misalnya lobi-lobi pengusaha kepada pemerintah untuk memproteksi industri mereka dari persaingan produk asing. Untuk menguatkan posisi, mereka membawa-bawa rakyat, kepentingan rakyat atau kepentingan nasional. Padahal sebetulnya rakyat kecil akan lebih diuntungkan dengan tidak adanya proteksi yang menghasilkan market power bagi pengusaha tersebut.
Jadi, mahasiswa menggunakan mantra sakti ‘atas nama rakyat’ untuk membela kepentingan pribadi mereka, sama dengan pengusaha-pengusaha di atas. Namun demikian, saya yakin tidak semua mahasiswa yang ikut serta dalam demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM tersebut berjuang demi sendiri, ada yang benar-benar tulus membela rakyat. Untuk mereka, saya rasa cukup sedikit pencerdasan tentang regresifitas kebijakan subsidi BBM dan betapa kenaikan harga yang akan terjadi hanya bersifat one-shot saja yang perlu dilakukan.
Sebelumnya, saya bahas dulu sekilas tentang rencana pengurangan subsidi BBM. Mayoritas teman-teman di Fakultas Ekonomi UI sepakat dan sepaham bahwa memang subsidi BBM harus dikurangi, bahkan kalau bisa dihentikan. Selain membebani APBN (hingga 10% APBN untuk subsidi BBM), subsidi ini jelas salah sasaran. Di mana justifikasi sosial dari menggunakan uang pajak masyarakat (kaya dan miskin) untuk membantu membiayai konsumsi bahan bakar kendaraan orang kaya? Semakin banyak kendaraan seseorang, atau semakin sering ia bepergian dengan kendaraan bermotor, semakin besar negara mensubsidi orang tersebut.
Lantas, mengapa mahasiswa yang katanya pembela rakyat kecil malah mendukung sampai mati kebijakan yang justru memindahkan kekayaan dari si miskin ke si kaya?
Disadari atau tidak, para mahasiswa itu bertindak untuk kepentingan diri mereka sendiri. Ada dua jenis mahasiswa: mereka yang memiliki mobil atau motor; dan mereka yang tidak memiliki kendaraan bermotor tetapi sebagai akibat dari pendidikan yang ditempuhnya akan mengalami peningkatan strata sosial dan akhirnya memiliki mobil atau motor. Jadi, tentu Dasar ilmu politik adalah who gets what, dan mahasiswa merupakan salah satu pihak yang diuntungkan dengan subsidi bensin kendaraan bermotor.
Dengan demikian, aksi demonstrasi mahasiswa menentang kenaikan BBM itu dapat dipahami, namun bagi saya tidak dapat dimaklumi. Demonstrasi tersebut dilakukan untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri. Jahatnya walau untuk kepentingan sendiri, mereka mengatasnamakan rakyat. Bukankah rakyat paling miskin di negeri ini tidak menggunakan Premium sama sekali, bahkan tanpa angkot? Mereka yang hidup di pedesaan dan berjalan kaki kemanapun pergi tentu tidak merasakan manfaat subsidi Premium sebesar mereka para mahasiswa.
Poin saya adalah, penolakan pengurangan subsidi BBM ini tidak ada bedanya dengan misalnya lobi-lobi pengusaha kepada pemerintah untuk memproteksi industri mereka dari persaingan produk asing. Untuk menguatkan posisi, mereka membawa-bawa rakyat, kepentingan rakyat atau kepentingan nasional. Padahal sebetulnya rakyat kecil akan lebih diuntungkan dengan tidak adanya proteksi yang menghasilkan market power bagi pengusaha tersebut.
Jadi, mahasiswa menggunakan mantra sakti ‘atas nama rakyat’ untuk membela kepentingan pribadi mereka, sama dengan pengusaha-pengusaha di atas. Namun demikian, saya yakin tidak semua mahasiswa yang ikut serta dalam demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM tersebut berjuang demi sendiri, ada yang benar-benar tulus membela rakyat. Untuk mereka, saya rasa cukup sedikit pencerdasan tentang regresifitas kebijakan subsidi BBM dan betapa kenaikan harga yang akan terjadi hanya bersifat one-shot saja yang perlu dilakukan.
Comments
Post a Comment