Ketika negara menghukum seorang manusia akan perbuatan dosa, yang mana dalam perbuatan tersebut tidak satu orang pun menjadi korban, maka negara sedang mencoba menjadi Tuhan.Bahkan lebih jauh lagi, orang-orang yang menginginkan negara menindak perilaku-perilaku tersebut sesungguhnya tidak percaya betul dengan adanya Tuhan Yang Mahakuasa, seakan tak yakin entitas tersebut ada di dunia akhirat untuk turun tangan sendiri menghukum para pendosa tersebut. Manusia yang mortal harus membantu Tuhan menjalankan tugasnya. Mengapa? Karena menurut mereka Tuhan tidak mampu, Tuhan tidak mahakuasa.
Ketika negara menghukum para penjudi, pemabuk, pezina, dan sejenisnya, sebetulnya negara seakan mencaci-maki para pemuka agama, dan mengatakan ke muka mereka ‘Engkau tidak mampu menjalankan tugasmu’. Karena sesungguhnya bukanlah tugas negara untuk mengatur hal tersebut, melainkan tugas ulama, pendeta, pastor, rabbi, biksu, dan lain-lain. Bahwa pemuka agama meminta agar negara turut memberikan hukuman fisik atas tindakan-tindakan tersebut, sesungguhnya mereka seakan mengibarkan bendera putih tanda tak mampu menjalankan tugas mereka sendiri. Negara membantu mereka menjalankan tugasnya. Mengapa? Karena menurut mereka para pelayan Tuhan itu tidak mampu. Tuhan tidak becus memilih pelayan-Nya.
Ketika negara menyatakan aliran-aliran kepercayaan tertentu sebagai sesat, negara mengambil alih peran Tuhan. Aneh sekali jika negara bertindak saat ada sekelompok orang yang dianggap tidak menyembah Tuhan dengan cara yang dianggap benar.Ia seakan menjadi Yang Maha Tahu, yang dengan jelas dapat menentukan aliran/cara mana yang benar, dan aliran/cara mana yang sesat. Ketika negara menghukum pengikut aliran tersebut, ia betul-betul memainkan perannya sebagai Tuhan. Mengapa? Karena menurut merekaTuhan tidak tahu ada yang menyembah-Nya dengan cara yang ‘salah’. Tuhan tidak maha tahu.
Ketika negara menghukum sekelompok orang hanya karena terang-terangan menyatakan diri tidak percaya akan adanya sebuah entitas Tuhan, ia juga bertindak sebagai Tuhan itu sendiri. Ia tidak percaya bahwa Tuhan yang di atas sana yang akan menghukum orang tersebut di akhirat nantinya, jika pun percaya adanya akhirat. Maka ia harus turun tangan sendiri. Sungguh aneh ketika entitas yang tidak diakui keberadaannya adalah Tuhan, sementara yang tersinggung justru negara. Yang marah justru negara. Mengapa? Karena menurutnya Tuhan tidak punya waktu mengurusi hal tersebut. Oh betapa mereka merendahkan Tuhan.
Ketika negara menghukum seseorang karena preferensi seksualnya, menghukum kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transexual), ini sudah gila. Ia benar-benar tidak mengindahkan tulisan-tulisan kitab suci yang katanya di masa lalu Tuhan melaknat kaum-kaum tersebut, kalau pun percaya teks-teks tersebut. Kalau benar-benar percaya akan kejadian itu, tentu negara tidak perlu melakukan pelaknatan itu sendiri. Ia akan biarkan Tuhan bekerja di akhirat nantinya. Tapi toh negara justru melakukannya. Mengapa? Karena mereka tak yakin Tuhan akan melakukannya nanti. Tuhan tidak konsisten. Wah, bukankah ini penghinaan terhadap Tuhan sebetulnya? Mereka dapat terkena peraturan anti-penistaan agama yang mereka buat sendiri. Sungguh lelucon.
Tak pernah sedikitpun mereka peduli, apa yang sebenarnya Sang Tuhan inginkan. Tak pernah terlintas di pikiran mereka, apa benar aliran tertentu sesat di mata Sang Tuhan. Tak pernah terbersit di otak mereka, apakah memang sebenarnya memang ada “Sang Tuhan” tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang seakan dibungkam oleh dogma.
Pertanyaan-pertanyaan yang hanya akan benar-benar terjawab setelah ajal menjemput mereka.
Dan saya hanya berharap negara itu bukan Indonesia Raya.
Comments
Post a Comment