This might sound like an episode of Black Mirror, but I think with today’s technology it is entirely possible to replace the need to have parliaments represent the people in a democracy. On all the tasks parliament is there for, a good case can be made that technology has allowed us to do those tasks ourselves without the need of a middleman (elected representatives). We can create laws, agree on budgets, and oversee the executive branch ourselves, in a crowd-sourced sort of method, the way we are already doing a lot of other things. The reason why parliaments exist in a democracy is because it is practically impossible for an entire population to have to convene and vote on every single bill introduced by any one person within themselves, or to agree on the collective budget for example. Of course every now and then in some countries there are referendums that get voted on by the public, but this is about as far as it gets when it comes to the people deciding on legislations with
Pemilihan Gubernur Jakarta 2019 yang selama setahun belakangan sangat menguras perhatian seluruh khayalak masyarakat Indonesia telah berakhir sudah. Saya ingin memulai tulisan ini dengan memberi ucapan selamat dengan tulus kepada Pak Anies Baswedan dan Pak Sandiaga Uno, walaupun tidak memilih mereka kemarin, sebagai warga Jakarta tentu saya berharap mereka sukses menjalankan tugas dengan baik, karena kesuksesan mereka mengurus Jakarta tentu akan bagus buat saya juga. Terkait kekalahan Ahok, kita dapat melihat berbagai analisa dan teori mengapa seorang pelayan publik dengan tingkat kepuasan 75% hanya mampu meraup 40% suara dalam pemilihan langsung. Tentu berbagai alasan bermunculan, mulai alasan agama/suku yang berbeda dari mayoritas pemilih, kasus dagelan “penistaan” agama, kasar, dan lain-lain (saya tidak masukkan alasan seperti penggusuran, karena tentu alasan-alasan tersebut sudah termasuk di 25% yang tidak puas dengan pemerintahan Ahok). Saya melihat banyak pendukung Ahok