Skip to main content

A Free-Market Solution to Jakarta's Traffic Congestions

There have been quite a heated debate going on regarding the recent Low Cost Green Car policy, a tax cut on cars which allows carmakers like Astra and Indomobil to come up with a line of under Rp 100 million cars. Those who oppose think the policy would certainly make traffic congestion in Jakarta even worse than the already dreadful state it is now. Those who support think it might be a way to let less well-off Indonesians to fulfil their dream of owning a car. As the debate gets ideological, I'm going to put on my libertarian coat and try to offer a free-market solution to the congestion problem. 

There is a big mismatch in the transportation system in Jakarta, whereby automobiles are largely private while roads are largely public (toll roads make up for less than 5% of total road length). The LCGC bill simply further liberalised the the automobile industry, benefiting consumers, which in any other industry would be a good thing under libertarian perspective. However, as roads are public and are free, they are simply way cheaper to use than their market value. As with any government intervention in the price system, the lower price results in an excess demand and hence in this case heavy traffic. 

Which means there are 2 ways to solve this mismatch: Highly regulate the auto industry to curb auto sales; or the better, free-market option: highly deregulate the roads system. The former option includes heavily taxing cars, spending massive amounts of money to build public mass rapid transport, and so on. It might make sense to do that, but remember that with that kind massive public spending potential losses and inefficiencies may arise. Bribes going around, corruption taking place, and all that shady stuff. 

Now what about the free-market solution? This basically means auctioning off concessions of public roads to private companies, and allowing them to charge whatever price they want for usage of the roads. They could either use Electronic Road Pricing (ERP) or manual toll gate systems, whichever way they deem more profitable. They could raise prices during jams and lower them when its free. They should then be authorised to write and enforce their own street rules and punish whoever breaks them. 


There are two benefits to this approach. First, I argue that by privatising the roads and hence allowing their usage price to go up to the market clearing price, their excess demand will decrease and soon disappear. It will deter road usage by people who do not value their use as high as the market price. The second is that by raising the cost of road usage, the private sector would have more incentive to build and operate mass transportation systems. There will simply be too many people that rely on them that they can be profitable enterprises. As they too would be run by the private sector, it is arguable that they could be more efficient. 

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Biaya SP Rp 250 ribu/sks? Sudah Seharusnya

Belakangan ini kampus Fakultas Ekonomi UI dibuat gonjang-ganjing oleh isu kenaikan biaya semester pendek dari Rp 200 ribu / sks menjadi Rp 250 ribu /sks. Kenaikan sebesar 25% ini dinilai banyak pihak terlalu membebani mahasiswa, apalagi pengumuman kenaikan ini disinyalir diputuskan tanpa adanya dialog dengan elemen mahasiswa. BEM FEUI bahkan memasang petisi besar-besaran di Batang FEUI mengajak mahasiswa menolak kenaikan biaya SP tersebut. Untuk saya sebagai pribadi, tentu kenaikan biaya SP tidak menyenangkan., karena saya harus membayar lebih mahal untuk mengambil SP. Tetapi jika saya melepas ego pribadi dan coba melihat kenaikan SP ini dari luar, saya rasa kenaikan biaya SP menjadi Rp 250 ribu/sks adalah suatu kebijakan yang tepat. Mengapa demikian? Yang saya ingin garisbawahi adalah bahwa SP sifatnya adalah luxury. Ia tidak wajib, ia dapat diambil untuk mengulang/mencuci mata kuliah yang sudah diambil, atau menyodok mata kuliah baru agar dapat lulus lebih cepat, atau agar semest