Skip to main content

Gagasan Gila untuk Timnas Indonesia

Saya ingin menuliskan ulang sebuah notes yang saya tulis beberapa bulan yang lalu di Facebook. Isi tulisan ini adalah sebuah pemikiran sederhana, yang berawal dari rasa malu mendengar kabar bahwa timnas kita hancur lebur di Sea Games Laos.

Sungguh miris melihat tingginya animo masyarakat akan sepakbola, tidak terrefleksi pada kualitas sepakbola Indonesia. Begitu banyak anak bermain bola di jalanan. Begitu banyak tempat futsal bertebaran di seantero kota. Lapangan sepakbola di kampung-kampung selalu terisi setiap harinya oleh anak-anak bermain bola. Tapi mengapa di antara jutaan insan sepakbola Indonesia sepertinya tiada output yang ciamik.

Apakah karena negara kita kurang sumber daya? Apakah karena kita negara miskin? Saya rasa tidak. Berkaca kepada negara sahabat seperti Brasil dan Argentina, yang notabene juga negara miskin, kualitas sepakbola mereka bumi dan langit dengan kita.

Melirik akar masalahnya, ini dikarenakan gila bola muda kita tidak bermain bola dengan mereka yang sudah hebat. Bayangkan seorang bocah Brasil atau Argentina saat pertama menyentuh lapangan hijau. Untuk bisa keep up bermain bersama senior-seniornya, ia harus meningkatkan permainannya sangat tinggi. Jika tidak, ia tidak mungkin dapat bermain bersama mereka. Hasilnya, ia akan menyesuaikan diri dan akhirnya menjadi seorang pesepakbola yang hebat juga. Sedangkan di sini, ia hanya cukup meningkatkan kualitasnya sedikit saja untuk dapat bermain bersama para senior. Dan alhasil kualitasnya terhenti di sana.

Lalu saya berpikir, untuk menghasilkan kualitas sepakbola Indonesia yang hebat, kita harus membiarkan anak-anak kita untuk bermain dengan mereka yang berada di level lebih tinggi, untuk menghentikan stagnansi seperti yang terjadi sekarang. Caranya sederhana, dengan mengirim 100 bayi laki-laki kita ke negara yang maju sepakbolanya, saya pilih Brasil.

Ya, 100 bayi lelaki ke Brasil. Biarlah mereka tumbuh dan berkembang di sana. Biarlah mereka bermain sepakbola di jalanan bersama anak-anak sebaya mereka orang-orang lokal. Biarlah mereka menjadi pemain yang berkualitas karena bermain di level yang lebih tinggi. Dan ketika mereka beranjak remaja, gabungkan mereka dengan tim-tim lokal Brasil.

Saya yakin, ketika mereka berusia 17-an, kita akan punya minimal 30 pemain hebat yang kualitasnya jauh lebih baik dibanding timnas kita sekarang. Mungkin tidak sefenomenal Kaka atau Ronaldinho, tetapi pasti lebih hebat dari Bambang Pamungkas. Kasarnya saja, mungkin ada di antara suporter-suporter Brasil di Afrika Selatan saat ini yang mampu bermain sepakbola lebih hebat daripada pemain timnas kita.

Kebijakan ini tentu akan membawa Domino Effect yang tentunya positif. Bukan saja kita akan punya timnas dengan kualitas sedikit saja di bawah Brasil, kita juga akan menciptakan level bermain yang tinggi. Junior-junior mereka yang tidak pergi ke Brasil akan dengan sendirinya meningkatkan level mereka untuk bisa bermain bersama Brasilian Boys ini. Alhasil, persepakbolaan kita lantas akan memiliki masa depan yang cerah.

Dan lagi, pengiriman bayi ke Brasil ini akan menyelesaikan satu masalah lain. Banyak sekali bukan bayi-bayi yang tidak diinginkan orangtuanya. Daripada mereka diaborsi, dibuang ke panti asuhan, atau lebih buruk lagi dijadikan prasarana untuk orangtua mereka mengemis, lebih baik bayi-bayi ini menjadi bagian dari mereka yang kita kirim ke Brasil.

Tentunya di sana mereka akan dipelihara, dibiayai sekolahnya, biaya hidupnya, dan sebagainya. Bisa dibuat sebuah badan atau biro di bawah KBRI Brasilia untuk mengurus keberadaan para calon punggawa-punggawa merah putih ini. Dengan demikian bayi-bayi ini akan mampu mematerialisasi impian orangtuanya agar berguna bagi bangsa dan negara, yang mungkin lebih sulit terjadi jika mereka tetap di Indonesia.

Mungkin tidak murah mengirim, memelihara, dan membiayai kehidupan 100 bocah kita ke Brasil. Namun anggaplah ini investasi, yang jauh lebih berharga dan efektif dibanding gonta ganti pelatih timnas, merubah-rubah format Liga Indonesia, atau menciptakan lapangan-lapangan standar internasional di seluruh Indonesia.

Demikian paparan pemikiran saya, mohon tanggapannya untuk Tim Merah Putih yang lebih membanggakan.

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka...

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk ...

Biaya SP Rp 250 ribu/sks? Sudah Seharusnya

Belakangan ini kampus Fakultas Ekonomi UI dibuat gonjang-ganjing oleh isu kenaikan biaya semester pendek dari Rp 200 ribu / sks menjadi Rp 250 ribu /sks. Kenaikan sebesar 25% ini dinilai banyak pihak terlalu membebani mahasiswa, apalagi pengumuman kenaikan ini disinyalir diputuskan tanpa adanya dialog dengan elemen mahasiswa. BEM FEUI bahkan memasang petisi besar-besaran di Batang FEUI mengajak mahasiswa menolak kenaikan biaya SP tersebut. Untuk saya sebagai pribadi, tentu kenaikan biaya SP tidak menyenangkan., karena saya harus membayar lebih mahal untuk mengambil SP. Tetapi jika saya melepas ego pribadi dan coba melihat kenaikan SP ini dari luar, saya rasa kenaikan biaya SP menjadi Rp 250 ribu/sks adalah suatu kebijakan yang tepat. Mengapa demikian? Yang saya ingin garisbawahi adalah bahwa SP sifatnya adalah luxury. Ia tidak wajib, ia dapat diambil untuk mengulang/mencuci mata kuliah yang sudah diambil, atau menyodok mata kuliah baru agar dapat lulus lebih cepat, atau agar semest...