Skip to main content

Lokalisasi Demonstrasi untuk Kehidupan Kota Lebih Baik

Karakteristik utama dari negara yang menjunjung tinggi demokrasi seperti Indonesia adalah (katanya) kebebasan berpendapat. Dalam konstitusi kita pun tertera “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Salah satu pemanfaatan hak tersebut adalah dengan kegiatan demonstrasi atau aksi, yakni turun ke jalan dengan sejumlah spanduk dan poster, serta berisikan juga orasi dari beberapa “tokoh” massa yang berdemo tersebut.

Memang dapat dikatakan demonstrasi maksudnya baik, namun rasanya banyak juga eksternalitas negatif yang ditimbulkan kegiatan ini. Kemacetan adalah salah satunya. Di tengah sistem lalu lintas kota Jakarta yang carut marut, adanya demonstrasi di suatu tempat akan memperkeruh keadaan. Akibatnya, masyarakat pengguna jalan yang dirugikan. Belum lagi jika para demonstran tidak berlaku tertib dan justru rusuh, makin berabe semuanya.

Layaknya prostitusi, perjudian dan hal-hal lain yang memiliki eksternalitas negatif bagi masyarakat, menurut penulis sebaiknya demonstrasi pun dilokalisasi. Artinya, segala kegiatan demonstrasi dan aksi massa hanya diizinkan di satu tempat saja untuk setiap kota, misalnya Taman Monas, atau tempat-tempat lain. Tentu tidak serta merta, namun perlu dibangun juga sarana yang memadai untuk berdemo di sana, seperti tempat parkir, dsb.

Ada beberapa manfaat dari lokalisasi demonstrasi ini. Pertama dan utama, kemacetan (atau bertambah parahnya kemacetan kota) yang ditimbulkan dari demonstrasi dapat dihilangkan. Tidak ada lagi kepadatan jalan yang terjadi karena bus-bus demonstrasi parkir seenaknya di jalan raya, atau juga karena pengguna jalan memperlambat lajunya untuk melihat aksi yang sedang terjadi.

Kedua, peliputan yang dilakukan oleh media dapat lebih efisien. Tempat yang menjadi lokalisasi dapat dibuatkan sebuah press room dan fasilitas wartawan terintegrasi lainnya, sehingga peliputan oleh media dapat lebih baik. Selain itu, dapat juga disediakan conference room untuk pertemuan para tokoh demonstran dengan perwakilan dari instansi yang di-demo-kan. Mengingat hal terpenting dari demonstrasi adalah suara terdengar, tentu penulis tidak ingin lokalisasi demonstrasi menjadi pengkerdilan demokrasi, dan aspirasi yang diajukan para demonstran harus tetap terdengar.

Ketiga, dengan lokalisasi maka administrasi dan pengaturan kegiatan demonstrasi dapat lebih baik dilakukan. Tidak adalagi demonstrasi yang bentrok antara satu massa dengan massa yang lain. Kemudian, jika ada yang rusuh atau tidak tertib, merusak fasilitas umum, dsb, aparat kepolisian dapat lebih mudah menindak karena massa tidak bisa kabur seenaknya. Sebuah prinsip penulis, teratur selalu lebih baik.

Keempat, pedagang asongan dapat sangat diuntungkan dengan lokalisasi demonstrasi, karena tentu demonstran adalah pasar yang sangat potensial untuk makanan, minuman, snack, dan lain-lain. Berkumpulnya mereka di satu tempat dapat usaha-usaha asongan tersebut.

Walau begitu, memang harus diakui ada beberapa kekurangan seperti hilangnya ‘feel’ dari demonstrasi itu sendiri jika tidak dilakukan langsung di instansi terkait. Kemudian adalah sulitnya mengundang perwakilan instansi terkait untuk datang ke lokalisasi dan berdialog dengan demonstran. Tapi ini pun sama saja dengan tanpa lokalisasi. Yang dibutuhkan adalah itikad baik dari perwakilan instansi. Tanpa itu, demonstrasi yang dilakukan di depan kantor suatu instansi pun tidak akan menghasilkan apa-apa.

Menurut penulis, rasanya kekurangan-kekurangan ini jauh tidak sebanding jika dibandingkan dengan keuntungan bagi masyarakat luas yang dapat dihasilkan. Dengan lokalisasi, kegiatan berdemokrasi (baca: demonstrasi) dapat diminimalisir efek negatifnya dan difokuskan kepada tujuan utama saja, yakni didengar, tanpa harus merugikan masyarakat. Ingat, pengguna jalan juga adalah pembayar pajak yang berhak atas jalanan, janganlah diambil untuk demonstrasi semata!


Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 2009

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves