Skip to main content

Keluarga Korban Tabrakan Anak Pejabat yang Rasional akan Memilih Berdamai


Belakangan ini rasa keadilan masyarakat seperti tercederai mengingat seorang anak petinggi negeri ini yang terkena kasus tabrakan hingga mengakibatkan kematian dua orang tidak kunjung dipenjara. Dimulai dari alibi-alibi yang mengatakan kondisi psikis yang bersangkutan sedang tidak normal, hingga beredar gosip bahwa saat ini yang bersangkutan telah berada di luar negeri. Yang akan saya coba bahas dalam tulisan ini adalah beredarnya gosip bahwa keluarga korban telah ‘berdamai’ dengan keluarga pelaku, tentu untuk sejumah uang.

Tentu bagi sebagian orang hal ini unnaceptable, seakan-akan keluarga korban rela nyawa keluarganya digantikan dengan harta. Tentu banyak yang akan berpendapat bahwa jika kejadian tersebut terjadi pada mereka, mereka tidak akan rela berdamai dan akan terus menuntut agar si anak pejabat mendapat ganjarannya yang setimpal di pengadilan. Buat saya, mereka termakan hanya emosi belaka dan tidak rasional.

Mengapa demikian? Pertama, uang yang didapat (tentu nilainya puluhan miliar) akan jauh lebih berguna bagi keluarga korban dibanding melihat sang anak pejabat mendekam di penjara. Ingat, dalam kasus tabrakan hukuman tertingginya tidak akan lebih dari belasan tahun penjara, karena sifatnya hanya ‘kelalaian yang mengakibatkan kematian’, bukan pembunuhan. Dengan uang tersebut keluarga tadi dapat mengubah nasibnya, saudara-saudara korban dapat hidup jauh lebih layak dibanding sebelumnya. Bayangkan, uang sedemikian jika didepositokan saja dapat memberi pendapatan puluhan juta setiap bulannya. Tanyakan pada diri sendiri, mana yang almarhum korban lebih inginkan, melihat sang anak pejabat dipenjara, atau keluarganya menjadi jauh lebih sejahtera?

Jika masih belum cukup, alasan kedua adalah bahwa dengan jabatan yang dimiliki sang pejabat, akan sangat mudah bagi dia untuk memperdaya sistem hukum sehingga anaknya tidak mendapat hukuman seberat seharusnya. Adalah sangat mungkin uang damai yang kita tolak digunakan sang pejabat untuk menyogok berbagai pihak penegak hukum. Mungkin juga pun jika benar anaknya masuk penjara, namun mendapat perlakuan istimewa dan dapat keluar masuk seenak hati. Hal ini memberi kita pilihan: uang itu untuk kita dan sang pelaku bebas, atau uang itu tidak untuk kita dan sang pelaku sangat dekat dengan kebebasan. Tentu pilihan pertama jauh lebih rasional. 

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves