Skip to main content

#Dolly dan Legalisasi Prostitusi

Ingin bahas sedikit rencana penutupan lokalisasi #Dolly di Surabaya. Ini namanya bertindak tanpa berpikir. Harus ditolak.

Rule of thumb: You close a localization, it will spread. Pilih mana, prostitusi hanya di #Dolly, atau menyebar seluruh Surabaya.

Contoh: Di Kopenhagen, ada satu jalan, Pusher Street, di mana hanya di jalan itu perdagangan ganja legal. Diakhiri 2001. #Dolly

Akibatnya, perdagangan marijuana yang tadinya hanya di Pusher Street tersebar dan meluas ke seluruh Kopenhagen. #Dolly

Baiklah kita belajar dari pengalaman Kopenhagen dalam kasus ini. Penutupan #Dolly hanya akan berujung masalah yang lebih besar.

Menurut saya sebaiknya prostitusi dilegalkan sekalian, terlokalisasi tentunya, terorganisir, teratur, dan dipajaki. #Dolly

Di Jordan, negara Arab saja prostitusi legal, bahkan seorang PSK wajib mendapat "license". Penting untuk mencegah STDs. #Dolly

Untuk mendapat "license" itu ia harus bebas penyakit, dan tentu dididik untuk selalu menggunakan pengaman. #Dolly

Resiko STDs berkurang, efek negatif ke masyarakat minim karena terlokalisasi, dan pemerintah dapat pajak. Semua senang. #Dolly

Daripada munafik dan sok suci, melarang tapi membiarkan seperti sekarang, lebih baik semua diatur agar rapi. #Dolly

Yak sekian seri-twit saya tentang rencana penutupan gang #Dolly dan legalisasi prostitusi. Ciao #Dolly

Discussion:
@Rafztop: Cause&Effect? RT @rayestu: Menurut saya sebaiknya prostitusi dilegalkan sekalian, terlokalisasi tentunya, terorganisir, teratur, & dipajaki.


@Rafztop better organized than out of control, more or less. Prostitusi, judi, adalah hal2 yang gak akan hilang sama sekali. Baik diatur.

@SSiRiC: @rayestu sepakat, judi juga.. Pemerintah bakal dpt pajak gede dr situ.. Klo ga gt justru buang devisa, byk org indo maen di spore..


@SSiRiC itulaah! Bukan cuma spore, harusnya keuntungan bandar2 judi kita yang subahanallah besarnya itu bisa dinikmati rakyat juga dong

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves