Skip to main content

#Todaro and the Punctuality Equilibrium


Baca buku "Economic Development" oleh Michael #Todaro dalam persiapan UTS Ekbang, ada yang menarik untuk di-share. Trivia sih.

Ada sebuah fun fact menarik, oleh Kaushik Basu dan Jorgen Weibull. Tentang kebiasaan ngaret yang parah. #Todaro


Saking membudayanya ngaret di Amerika Selatan, muncul istilah "Latin American Time". Rupanya Indonesia keduluan nih #Todaro


Basu dan Weibull menyatakan "punctuality is simply an equilibrium response of individuals to what they expect others to do". #Todaro


Intinya, ketika kita ada janji dengan orang, dan kita expect dia akan telat, ya kita juga akan telat. Sebuah ekuilibrium ketelatan. #Todaro

Fakta penting: Ekuador kehilangan 4-10% GDPnya karena "chronic lateness". Kata-kata "Manana, Manana" (Besok, besok) sangat lazim. #Todaro

Sekelompok anak muda mencoba mengubah budaya salah ini. Mereka jalankan "Campana Contra la Impuntualidad".#Todaro


Hasilnya dapat menjelaskan ide society bisa berpindah dari equilibrium yang buruk ke yang baik dengan mengubah ekspektasi. #Todaro

Kampanye ini hebat. Setiap hari koran terbitkan daftar pejabat yang telat ke acara publik. Boleh ditiru nih. #Todaro


Ruang2 rapat mulai gunakan notice a la hotel, bertuliskan "Come in you're on time", dan "Don't Enter: The meeting began on time". #Todaro


Di buku ini tidak dijelaskan pasti apakah kampanye ini signifikan mengubah kebiasaan telat orang Ekuador. Tapi jika ya, ... #Todaro


... maka banyak hal lagi yang bisa kita ubah hanya dengan mengubah ekspektasi, dus menggeser ekuilibriumnya. Misal: Korupsi. #Todaro


Mungkin ga jauh beda dengan filosofi Tipping Point-nya Malcolm Gladwell. 1 orang, 2 orang, Tipping Point, dan mewabah. #Todaro


Karena itu saya yakin, banyak masalah bangsa bisa diatasi dengan dimulai sendiri2, mengubah ekspektasi masing2. Sekian. #Todaro

Replies:
"@stefidjo: @rayestu menarik sekali bung ray, dr buku apa sih sumbernya? Tp kampanye macem gt mesti dilakukan serentak dong --> masalah koordinasi"

@stefidjo dari buku ekbang stef yang lusa UTS, ada kaya trivial fact gitu. Ini papernya btw http://bit.ly/a5fnql #Todaro

"@banggun: boleh juga kultwitnya #Todari @rayestu, masalah punctuality emang gak ada habisnya dah diomongin"

@banggun ada pendapat gini ngun. Di barat karena udah lama industri, terbiasa on time. Di Jawa: yaa nanti deh pas musim panen... Hehehe

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves