Skip to main content

Mengatasi Kemacetan Jakarta, Ubah Budaya!

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman

Kemacetan kota Jakarta sudah sangat mengkhawatirkan. Di titik-titik tertentu bahkan setiap pagi dan sore saat rush hour nyaris tak bergerak. Seseorang yang tinggal di daerah Jakarta Selatan dan bekerja di Jalan Sudirman, misalnya, bisa menghabiskan 2-3 jam sehari dalam perjalanan. Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang sehat dalam kehidupan perkotaan.

Banyak wacana yang telah dikemukakan untuk mengatasi kemacetan Jakarta ini, seperti perbaikan sistem transportasi umum. Gubernur Sutiyoso sempat mengajukan grand design-nya dengan adanya busway, subway, monorail, kereta rel listrik (KRL), dan transportasi air. Sayang di masa penerusnya Gubernur Fauzi Bowo, yang diteruskan hanya busway[1], yang lain terbengkalai karena satu dan lain hal. Solusi yang sekarang sedang gencar dicoba oleh Pemda DKI adalah penambahan ruas jalan, yakni dengan membangun mega-flyover di atas Jalan Antasari dan Jalan Dr. Satrio. Selain itu, pemerintah pusat juga berencana membantu mengurangi kemacetan salah satunya sebagai imbas kebijakan fiskal pengurangan subsidi BBM, yang tentu menjadi disinsentif bagi pengendara mobil untuk tetap menggunakan mobilnya.

Pertanyaannya sekarang, apa benar perbaikan sistem transportasi umum saja cukup untuk membuat pengendara kendaraan bermotor untuk beralih ke transportasi umum?

Sepertinya ada indikasi banyak pengendara mobil dan motor di Jakarta yang memang memilih mengendarai mobil atau motor bukan hanya karena lebih ceppat dibanding angkutan umum, melainkan karena memang mereka malas menggunakan angkutan umum. Mungkin juga disebabkan mobilitas yang lebih tinggi jika menggunakan kendaraan pribadi. Kalau memang inilah keadaannya, maka persoalan yang dihadapi lebih besar dari sekadar membenahi transportasi umum.

Penulis mengambil contoh Jalan Raya Lenteng Agung yang mengarah ke Pasar Minggu di pagi hari. Jalan tersebut hampir selalu ditemukan macet berkepanjangan, kadang-kadang dari sebelum Universitas Pancasila hingga Tanjung Barat. Ironisnya, persis di jalan tersebut terdapat jalur KRL Bogor-Depok. Harus diakui, KRL (terutama kelas AC dan Ekspress) merupakan transportasi umum terbaik yang dimiliki Jabodetabek saat ini, kondisi kereta yang cukup baik dan ketepatan waktu yang masih bisa ditoleransi. Toh, masih banyak saja orang yang memilih menggunakan kendaraan pribadinya dibanding menggunakan KRL tersebut, meskipun konsekuensi yang dihadapi adalah kemacetan panjang dan harga bahan bakar minyak yang kian hari kian mencekik.

Mungkin sebagian akan mengatakan mereka memilih kendaraan pribadi dibanding KRL karena KRL arah Jakarta di pagi hari; dan arah Bogor di sore hari selalu penuh sesak dan padat sehingga tidak nyaman. Pertanyaannya, apakah transportasi umum di kota-kota besar dunia yang lain nyaman dan lenggang?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengambil contoh kasus kota lain Tokyo. Di sana jarang sekali orang memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk bekerja. Sebagian besar menggunakan kendaraan umum, di antaranya subway. Apakah subway di Tokyo lenggang? Tidak sama sekali. Bahkan ada petugas yang disebut professional train-packers[2] yang bertugas memasukkan orang ke dalam kereta karena terlalu penuh. Dengan demikian dapat dikatakan sebagian orang memilih kendaraan pribadi dibanding angkutan umum BUKAN karena transportasi umum yang kurang memadai, namun memang mereka merasa lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi, dan tidak akan berpindah ke kendaraan umum meskipun benefit-nya banyak. Solusi untuk hal ini tentu tidak mudah, dan lebih bersifat jangka panjang.


Yang harus dilakukan adalah membangun budaya penggunaan kendaraan umum di masyarakat. Penulis memiliki ide, misalnya, dengan menggiatkan kampanye massal penggunaan kendaraan umum untuk atasi kemacetan. Kesan bahwa hanya kaum menengah ke bawah yang menggunakan kendaraan umum harus dihilangkan. Ini dapat dilakukan dengan mengajak pejabat-pejabat kota, anggota DPRD, untuk menggunakan kendaraan umum sehingga memberi contoh. Kemudian dengan mekanisme bonus bagi PNS yang berpindah menggunakan kendaraan umum dari kendaraan pribadi.

Lebih dini lagi, pelajar sekolah dibiasakan untuk menggunakan kendaraan umum. Aturan wajib datang ke sekolah dengan kendaraan umum dapat diberlakukan di sekolah-sekolah negeri. Hal-hal seperti ini akan menumbuhkan budaya mau naik kendaraan umum di masyarakat.

Penulis sama sekali tidak menyatakan bahwa masalah utamanya ada di masyarakat. Tetap penyebab nomor wahid masalah kemacetan dan timbulnya budaya kendaraan pribadi adalah kurang memadainya infrastruktur kendaraan umum di Jakarta. Tak bisa dipungkiri angkutan kota tidak nyaman, trotoar untuk pedestrian hanya tersedia di sebagian kecil ruas jalan. Selain itu, Jakarta adalah satu-satunya kota besar ( > 10 juta penduduk) di dunia yang tidak memiliki subway/MRT.

Pembenahan infrastruktur transportasi umum di Jakarta menurut hemat penulis adalah necessary but not sufficient condition dalam mengatasi masalah kemacetan di Jakarta. Pengubahan budaya masyarakat juga penting untuk dilakukan.

---

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi UI angkatan 2009.

Footnotes:

[1] KRL juga berlanjut, tapi ini di luar tanggung jawab Pemda DKI Jakarta.

[2] Dapat dilihat di http://youtu.be/E7kor5nHtZQ

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves