Skip to main content

Biaya SP Rp 250 ribu/sks? Sudah Seharusnya

Belakangan ini kampus Fakultas Ekonomi UI dibuat gonjang-ganjing oleh isu kenaikan biaya semester pendek dari Rp 200 ribu / sks menjadi Rp 250 ribu /sks. Kenaikan sebesar 25% ini dinilai banyak pihak terlalu membebani mahasiswa, apalagi pengumuman kenaikan ini disinyalir diputuskan tanpa adanya dialog dengan elemen mahasiswa. BEM FEUI bahkan memasang petisi besar-besaran di Batang FEUI mengajak mahasiswa menolak kenaikan biaya SP tersebut.

Untuk saya sebagai pribadi, tentu kenaikan biaya SP tidak menyenangkan., karena saya harus membayar lebih mahal untuk mengambil SP. Tetapi jika saya melepas ego pribadi dan coba melihat kenaikan SP ini dari luar, saya rasa kenaikan biaya SP menjadi Rp 250 ribu/sks adalah suatu kebijakan yang tepat. Mengapa demikian?

Yang saya ingin garisbawahi adalah bahwa SP sifatnya adalah luxury. Ia tidak wajib, ia dapat diambil untuk mengulang/mencuci mata kuliah yang sudah diambil, atau menyodok mata kuliah baru agar dapat lulus lebih cepat, atau agar semester akhir akan lenggang sehingga dapat fokus mengerjakan tugas akhir. Tidak mengambil SP tidak akan mengurangi kesempatan seorang mahasiswa untuk dapat lulus tepat waktu. Jadi buat saya, memang seharusnya biaya SP adalah LEBIH MAHAL daripada biaya semester biasa, karena sifatnya yang luxury itu tadi.

Sekarang saatnya hitung-hitungan. Bagi mahasiswa angkatan 2008 ke atas, biaya kuliah semester biasa adalah Rp 5 juta (non BOPB). Jika dibagi dengan 21 sks (jumlah sks maksimum), maka kita akan mendapatkan angka kurang lebih Rp 240 ribu/sks. Jadi kalau mengacu pada prinsip di atas, bahwa biaya SP seharusnya lebih mahal dari kuliah biasa, maka kenaikan menjadi Rp 250 ribu/sks seharusnya dapat dimengerti.

Tentu yang menjadi pertanyaan adalah: Bagaimana dengan yang tidak mampu membayar Rp 250 ribu/sks?

Pertanyaan ini sama validnya ditanyakan jika pun tidak ada kenaikan biaya SP, atau tetap Rp 200 ribu/sks. Tentu tidak adil jika mahasiswa yang mampu membayar 5 juta per semester dan mahasiswa yang dengan BOPB hanya membayar Rp 100 ribu per semester harus membayar jumlah yang sama ketika semester pendek.

Bagi saya, solusinya adalah seharusnya mekanisme BOPB dapat diberlakukan juga untuk semester pendek. Mereka yang mampu membayar Rp 5 juta pada semester panjang, tentu tidak akan keberatan membayar Rp 250 ribu/sks. Toh hanya sedikit lebih mahal (kalau dibandingkan dengan jumlah sks-nya) dari biaya semester panjang. Tetapi mereka yang mendapatkan BOPB di semester panjang, tentu akan kesulitan membayar bahkan Rp 200 ribu/sks-nya di semester pendek.

Oleh karena itu, menurut saya sebaiknya yang kita perjuangkan adalah agar mekanisme BOPB tetap diberlakukan juga di SP, bukan hanya meminta agar biaya SP tidak jadi naik.

PS: Tentu di sini asumsinya (anak Ekonomi boleh dong banyak asumsi) mekanisme BOPB jalan dengan lancar jaya dan yang emang perlu dapet semua ya :)

Ini hanya pendapat pribadi saya ya, mohon maaf kalau tidak berkenan, salam

Comments

  1. Wah setuju sekali dengan usulan diberlakukannya BOPB pada semester pendek. Apakah usulan seperti ini belum pernah disampaikan? Akan sangat membantu mereka yang ingin mengambil kelas karena mengulang namun kurang mampu membayar harga SP yang mahal itu :).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini kejadiannya udah 2 tahun lalu, sepertinya sekarang masalahnya bukan di SP ada BOPB atau tidak, tapi SP-nya akan ada apa enggak aja belom jelas :) hehe

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves