Skip to main content

Sebuah Ide Untuk Efisiensi Kerja PNS: Pelayanan Sipil 24 Jam


Bayangkan anda adalah seorang karyawan kantoran, dan anda diminta bos anda untuk melakukan perjalanan dinas ke luar negeri. Ketika sampai rumah anda baru sadar, bahwa paspor anda sudah habis beberapa bulan yang lalu. Anda juga sadar bahwa jatah cuti anda untuk tahun ini sudah habis. Maka matilah anda.

Ya, saat ini berbagai lembaga-lembaga pemerintah yang sifatnya adalah pelayanan bagi warga hanya buka pada jam kerja. Parahnya, banyak pelayanan yang entah karena kekurangan personel atau hanya karena manajemen yang buruk membutuhkan waktu sehari penuh untuk mengurusnya. Terkadang lebih. Artinya, pemerintah seakan memaksa anda untuk meninggalkan pekerjaan anda  selama satu hari penuh untuk dapat mengurus hal tersebut.

SIM, paspor, KTP, KK, dan berbagai macam urusan sipil lainnya memaksa warga negara bolos kerja. Bayangkan inefisiensi yang terjadi ketika ribuan orang setiap harinya harus meninggalkan pekerjaan mereka demi mendapatkan pelayanan pemerintah tersebut. Mari kita kuantifisir sedikit untuk mendapat gambaran yang lebih riil.

PDB per kapita Indonesia: $3500 ~ Rp 30 juta (penyederhanaan). Mengasumsikan 300 hari kerja setiap tahun, maka pendapatan per kapita per hari setiap orang adalah Rp 100.000.  Berapa orang yang bolos kerja setiap harinya untuk urusan sipil? Jika anda pernah ke kantor imigrasi, anda akan melihat ribuan orang di sana. Satu kantor imigrasi. Saya membayangkan bisa 20-30 ribu orang setiap harinya di seluruh Indonesia membolos demi melakukan hal-hal sipil tersebut. Ambil skenario baik, 20 ribu orang. Maka 20.000 x Rp 100.000 = Rp. 2 miliar PDB kita hilang setiap hari kerja. Angka ini sama dengan Rp 600 miliar per tahun yang hilang semata-mata karena kewajiban membolos tadi.

Hal ini membuat saya berpikir, mengapa pelayanan-pelayanan sipil tidak bisa dibuat buka 24 jam dan buka di luar hari kerja? Kita toh tidak kekurangan pegawai negeri sipil. Penerimaaan PNS setiap tahunnya juga sangat besar, saya kira jauh melebihi yang dibutuhkan. Tidak akan terlalu sulit membuat mereka bekerja dalam beberapa shift, dan menyediakan pelayanan di atas non-stop. Pintu tol saja bisa buka 24 jam dan hari libur, mengapa pelayan masyarakat tidak?

Tentu anggaran akan meningkat untuk menyediakan pelayanan tersebut, tambahan personil, biaya listrik, uang lembur, dan sebagainya. Tapi dibanding Rp 600 miliar setiap tahunnya yang hilang, saya rasa akan sangat layak dilakukan. 

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves