Skip to main content

Analisa Extensive Form: Jokowi 2012 dan Prabowo 2014


Jarang-jarang saya menulis tentang politik praktis, tapi ada suatu hal yang sepertinya agak menarik untuk ditelaah. Belakangan ini santer rumor yang beredar bahwa Jokowi dimajukan sebagai calon gubernur DKI Jakarta oleh Prabowo guna melanggengkan jalan Prabowo untuk menjadi RI 1 di 2014. Bahkan terakhir ada isu yang berseliweran bahwa Jokowi akan dijadikan calon wakil presiden pasangan Prabowo, maka dari itu warga disarankan tidak memilih Jokowi.

Di sini ada suatu kejanggalan. Ada pertanyaan besar yang tidak tersentuh oleh pihak penyebar isu dan mereka yang mendapat isu tersebut, yaitu: apa betul dengan Jokowi terpilih sebagai gubernur DKI jalan Prabowo akan makin lancar? Darimana kesimpulan ini bisa didapatkan?

Ada beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan, yakni:

  1. Anggaplah masyarakat memang tidak menginginkan Prabowo menjadi Presiden RI di 2014.
  2. Prabowo sudah mendapat tambahan citra positif dengan menjadi salah satu pihak yang mendukung Jokowi sebagai gubernur DKI.
  3. Berkat tim komunikasi yang baik, Jokowi sudah mencitrakan diri sebagai pihak yang dizalimi dalam berbagai isu (SARA, konspirasi Yahudi, dsb) dan sudah menjadi semacam cult of personality
  4. Masalah Jakarta terlalu pelik untuk bisa diperbaiki Jokowi (jika menang) dalam 1,5 tahun (saat Pemilu 2014)
  5. Jika Jokowi tidak perform sebagai gubernur DKI, citra Prabowo bisa menurun karena telah memilih orang yang salah dan gagal. 

Jika asumsi di atas benar, maka jika Jokowi akhirnya kalah pada Pilkada DKI putaran kedua, ia justru akan tampil sebagai cult hero, orang yang didamba-dambakan untuk memperbaiki Jakarta namun kandas karena adanya permainan-permainan tidak sedap. Ia juga akan kembali ke Solo yang mana tentu lebih mudah untuk dipercantik dalam 1.5 tahun (menjelang Pemilu 2014) dibandingkan Jakarta. Tentu hal ini bagus untuk prospek pencalonan Prabowo, apalagi jika mengambil Jokowi sebagai pasangannya.

Skenario kedua, jika Jokowi akhirnya terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta. Ingat, ia hanya punya waktu 1.5 tahun untuk perform. Mengingat permasalahan Jakarta yang begitu banyak, rasanya tidak mungkin ada hal substansial yang sudah berhasil diatasi Jokowi dalam kurun waktu tersebut. Jadi justru dengan Jokowi menang sebagai Gubernur DKI, bisa jadi peluang Prabowo di 2014 tidak lebih baik daripada jika dia kalah.

Dalam analisa extensive form, kira-kira bisa dibuat seperti demikian:


Ket: Nilai citra Prabowo untuk standar dan buruk di Solo lebih baik daripada nilai di Jakarta karena efek terzalimi dan
cult hero yang terjadi.

Jadi kesimpulannya, kalau memang tidak ingin Prabowo menjadi presiden RI di 2014, lebih baik Jokowi menjadi Gubernur DKI, karena akan memberikan expected value yang jauh lebih buruk pada citra Prabowo sebagai capres 2014.  

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves