Skip to main content

Resensi Buku End This Depression Now (Paul Krugman, 2012)

Ketika membaca buku ini, kental sekali rasa bahwa Paul Krugman sedang sangat gemas dengan keadaan perekonomian Amerika Serikat saat ini, bahwa keadaan belum pulih dan pemerintah AS seperti tidak mampu melakukan apa pun untuk mengembalikan keadaan pra-krisis. Gemas, karena menurutnya langkah keluar dari The Great Recession ini ada, namun tidak diambil karena alasan-alasan yang menurutnya ideologis dan politis.

Krugman mendeskripsikan keadaan ekonomi AS saat ini sebagai “kondisi kronis dengan keadaan perekonomian di bawah normal tanpa kejelasan apakah keadaan akan membaik atau memburuk”. Yang begitu ia tekankan adalah bahwa krisis ekonomi AS hanyalah krisis koordinasi, di mana tidak ada kapasitas produksi yang berkurang, produktivitas pekerja pun tidak berkurang, hanya tidak ada confidence masyarakat untuk spending, sehingga produksi pun harus berkurang.

Prinsip yang penting adalah ‘your spending is my income’. Saat semua orang berusaha mengurangi pengeluaran, penting bagi seseorang untuk melakukan hal yang berlawanan, dan tidak ada ‘seseorang’ lain yang bisa melakukan hal itu selain pemerintah. Pemerintah AS harus lebih banyak lagi melakukan spending besar-besaran untuk menstimulasi perekonomian, dan yang sudah dilakukan dalam American Recovery and Reinvestment Act sangat kurang dari yang dibutuhkan.

Tentang defisit yang akan membengkak jika pemerintah meningkatkan spending besar-besaran, Krugman berpendapat bahwa pada tradeoff antara defisit dan employment, lebih baik mendahulukan employment. Ini dikarenakan social cost yang akan sangat besar ketika pengangguran dan mesin yang tidak berproduksi terlalu lama berakibat tergerusnya kapasitas produktif riil. Akibatnya, pengangguran yang sekarang siklikal bisa berubah menjadi struktural dan AS akan harus membiasakan diri hidup dengan tingkat pengangguran di atas 8 persen. Lebih lagi, hutang tidak perlu dibayar dan cukup di-rollover. Saat perekonomian membaik, cukup melakukan balance budget dan Debt/GDP ratio akan turun dengan sendirinya walau nominal hutang tersebut tetap.

Sepanjang buku ini Krugman mengingatkan kita akan pelajaran-pelajaran yang telah dipahami sejak Great Depression, namun seakan (sengaja) dilupakan oleh banyak ekonom sejak era liberalisasi Friedman/Reagan/Tatcher di tahun 1980an. Ia memaparkan bahayanya bila kita terlalu ideologis, dan penting untuk tetap in-touch dengan realita dan menemukan solusi-solusi yang pragmatis atas berbagai permasalahan.

Secara keseluruhan, End This Depression Now sangat menarik dan ditulis dengan bahasa yang tidak terlalu sulit. Jika ada dua Krugman (satu Krugman sang akademisi dengan paper-papernya, dan satu lagi Krugman sang kolumnis NY Times), buku ini lebih seperti kolom-kolom beliau yang tajam namun tetap enak dibaca. Sangat recommended.

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves