Skip to main content

Yang Malang nan Terlupakan: Para Calon Buruh

Belakangan ini ramai dibicarakan kenaikan Upah Minimum Regional di Jakarta sebesar 40%, yakni dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 2,2 juta. Perdebatan yang diperbincangkan selalu mengambil dua sisi: kaum buruh yang selama ini merasa termarjinalkan mendapat ‘kemenangan’ karena upah mereka naik luar biasa besar; dan kaum pengusaha yang keberatan karena beban mereka menjadi sangat besar. Dalam negosiasi-negosiasi yang berlangsung kaum buruh diwakili serikat-serikat buruh dan asosiasi-asosiasi pekerja, sementara pengusaha diwakili asosiasi-asosiasi industri dan juga APINDO.

Mengutip ungkapan Frederick Bastiat dalam ‘What is Seen and What is not Seen’, perdebatan di atas terhenti pada apa yang terlihat. Yang tidak terlihat adalah, ribuan orang yang tidak jadi mendapat pekerjaan sebagai buruh karena ekspansi-ekspansi perusahaan kemungkinan harus batal sebagai akibat kenaikan UMR yang tinggi.

Para calon buruh, orang-orang yang berada di sektor informal atau pengangguran yang akan dengan senang hati menjadi buruh dengan upah dibawah UMR baru, namun sebagai akibat dari peningkatan UMR yang drastis, kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Bayangkan suatu pabrik yang berencana ekspansi dan menambah 1000 buruh baru, dan ketika UMR naik pabrik tersebut batal ekspansi. Itu berarti ada 1000 orang yang batal mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Lebih menyedihkan adalah bahwa tak seperti buruh dan pengusaha yang memiliki serikat untuk membela kepentingan mereka masing-masing di meja perundingan, para calon buruh tidak punya siapa-siapa.

Satu hal yang perlu diingat adalah fakta bahwa hampir setengah penduduk Indonesia hidup di bawah standar $2/hari (World Bank). Artinya ada setengah rakyat Indonesia yang berpenghasilan kurang dari Rp 600.000 sebulan, jauh di bawah upah minimum regional di beberapa daerah di Jakarta. Berapa banyak dari mereka yang akan dengan senang hati bekerja di bawah upah minimum yang ditentukan pemerintah, namun tidak mendapatkannya karena aturan tersebut? Dan siapa yang membela mereka?

Satu hal lagi yang menambah beban para buruh-wannabe adalah bahwa kenaikan upah buruh cenderung mendorong kenaikan harga-harga barang kebutuhan. Fenomena ini biasa terjadi setelah adanya pengumuman kenaikan upah buruh ataupun pengumuman kenaikan gaji PNS. Apesnya lagi, jika kenaikan UMR menyebabkan pengusaha melakukan PHK terhadap sebagian buruh mereka, buruh-buruh ini akan berpindah ke sektor informal dan bersaing dengan para calon buruh ini, dan menekan upah sektor informal menjadi lebih rendah lagi. Sudah jatuh, ketimpa tangga.

Inilah mengapa kebijakan populis seperti menaikkan UMR secara signifikan sangat perlu dipikirkan baik-baik. Jelas bahwa pro-buruh tidak sama dengan pro-rakyat, karena kebijakan tersebut justru membebani rakyat yang tingkat kesejahteraannya di bawah buruh. Dan karena kelompok ini tidak (mungkin) memiliki asosiasi untuk membela kepentingan mereka di meja perundingan, seharusnya Kemenakertrans yang mengambil posisi tersebut, bukan menghilangkan kesempatan kerja mereka. After all, bukankah menciptakan sebesar-besarnya lapangan kerja adalah tugas utama kementerian tersebut?

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves