Skip to main content

Parallel Universe: Ketika Kita Tak Merdeka


Batavia, 19 Desember 2013

Dengan penuh kantuk karena telah begadang semalam suntuk untuk belajar ujian semester mata kuliah Het Economie van Nederlands Indie[1], aku mengayuh sepedaku secepat mungkin. Sebagai mahasiswa semester 7 di Universiteit van Nederlands Indie, aku telah terbiasa berangkat kuliah setelah menghabiskan malam tanpa tidur untuk belajar. Tetapi hari ini sedikit berbeda, aku bangun kesiangan. Spoor Rel Listrik (SRL) yang kunaiki setiap hari ke kampus akan berangkat dari Station Kebon Sirih 10 menit lagi, sementara jarak rumahku di kawasan Koningsplein ke stasiun itu adalah sekitar 3 kilometer.

Walau terburu-buru dan setengah tak sadar karena kantuk, dalam perjalanan bersepeda ini tetap dapat kukagumi keindahan pusat kota Batavia,  kota di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Sepanjang mata memandang, yang kulihat adalah jalan-jalan yang dipenuhi pohon rindang, taman-taman yang dirawat dengan apik, dan kanal-kanal yang bersih dan asri. Walau penuh dengan gedung pencakar langit nan modern,  suasana sejuk layaknya kota-kota di Negeri Belanda masih terasa kental. Tata kota ini sungguh rapi, terlihat jelas mana daerah perkantoran, mana daerah perumahan, dan mana daerah hiburan.

Jalan raya hampir tidak pernah macet, karena sistem transportasi dalam kota yang terintegrasi. SRL, trem, subway, MRT, dan bus kota yang nyaman membuat orang tidak punya banyak alasan untuk bepergian dengan mobil pribadi. Segala moda transportasi ini juga terawat dengan baik. Di sebelah kiri jalan kulihat gedung Paleis van de Governoor Generaal yang megah, tempat kerja sekaligus tempat tinggal para Gubernur Jenderal.

Sedikit cerita tentang gedung Paleis. Gedung ini pernah diduduki oleh pemberontak Organisasi Indonesia Merdeka pimpinan Sukarno selama kurang lebih satu dekade sejak Perang Dunia II berakhir. Menurut opa dan omaku, masa-masa itu sangatlah kelam, zaman edan. Mereka yang merebut kekuasaan terlalu sibuk memikirkan pentingnya revolusi, pentingnya kemerdekaan, tanpa mengerti bagaimana cara mengurus negeri sebesar ini.

Segalanya kacau, bagaikan sebuah negara tanpa aturan dan hukum. Kemungkaran terjadi di mana-mana. Praktik korupsi merajalela dan hampir membudaya. Selain itu, konflik antar-suku dan agama marak bermunculan di berbagai wilayah di seluruh negeri. Di masa ini juga muncul banyak organisasi preman berkedok agama yang meresahkan masyarakat. Organisasi-organisasi ini kerap menghancurkan tempat-tempat yang maksiat yang tidak membayar uang keamanan pada mereka. Selain itu, jutaan orang kehilangan pekerjaan mereka. Kemiskinan dan kelaparan menjadi hal yang lumrah di mana-mana. Walaupun aku seorang pribumi, aku sangat bersyukur bahwa rezim bumiputera ini cepat berakhir, tak bisa kubayangkan apa jadinya negeri ini jika  orang-orang itu memimpin tanah ini hingga sekarang.

Sekarang yang tinggal di sana adalah Gubernur Jenderal Herman van Haccou, seorang mantan perwira militer yang tegas dan berwibawa. Sudah sejak era Ratu Beatrix, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ditunjuk selalu adalah orang yang lahir dan besar di negeri ini. Meskipun ia orang Belanda, kami semua tahu ia sangat mencintai tanah ini dan seluruh rakyatnya. Ketika negeri jiran Malaya mencoba mencaplok beberapa pulau terluar Hindia Belanda, ia dengan cepat yang memerintahkan pasukan KNIL untuk sigap menghadang. Kesatuan negeri ini pun terjaga.

Aku lanjut mengayuh sepedaku dengan kencang. Kumelihat di sebelah kiri sekelompok anak kecil berseragam putih merah dan kaus kaki biru terbirit-birit masuk ke gerbang sekolahnya. Tampaknya mereka sedang terlambat. Aku mengingat lagi sedikit pelajaran sejarah ketika aku masih di atheneum[2] dulu. Seluruh sekolah-sekolah yang sekarang ada di Tanah Hindia ini adalah kelanjutan doktrin Politik Etis yang dibangun van Deventer lebih dari seabad silam. Sekarang di negeri ini, dari tanah Aceh hingga New Guinea hampir tidak ada satu anak pun yang tidak tamat sekolah menengah atas.

Pun bahwa aku bisa berkuliah juga adalah hasil dari Politik Etis ini. Lulusan atheneum yang merupakan 10 besar di masing-masing sekolahnya sudah pasti dapat berkuliah dengan gratis. Juara masing-masing sekolah langsung dikirim mencari ilmu di universitas-universitas terbaik di dunia, tanpa membayar sepeser pun. Yang lainnya juga dapat berkuliah dengan biaya yang terjangkau, asal lulus tes masuk yang sangat kompetitif.

Akhirnya aku pun sampai di Station Kebon Sirih. Layaknya mayoritas orang lainnya yang bepergian dengan kereta, aku memarkir sepeda di lahan yang ada. Setelah memasukkan kartu langganan ke mesin penghitung, aku menunggu SRL tujuan Buitenzorg untuk tiba sesaat lagi. Untung saja aku belum terlambat, karena sistem SRL ini tidak pernah telat barang sedetik pun.

Akan segera tiba di jalur dua, Spoor Comutter Line tujuan Buitenzorg[3]. Itulah kereta yang akan mengantarku ke kampusku di daerah DeVolk[4]. Di dalam kereta aku memperhatikan berbagai macam orang yang duduk di sekitarku. Mereka berbicara dengan berbagai macam bahasa, mulai dari bahasa daerah hingga bahasa asing. Memang di Hindia Belanda masa kini, hampir semua orang menguasai dengan baik setidaknya Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia. Mayoritas juga menguasai Bahasa Inggris, namun jarang digunakan dalam perbincangan sehari-hari.   

Sesaat setelah melintasi Station Passer Minggu berdiri megah Gevanengis Batavia, sebuah penjara besar di mana seluruh penjahat kelas kakap ditahan. Di Hindia Belanda penegakkan hukum berjalan dengan sangat ketat dan tidak pandang bulu. Seluruh rakyat, kaya-miskin, bule-pribumi-peranakan, semua mendapat perlakuan yang sama di depan hukum. Dari perkara kecil  hingga perkara besar, semua mendapatkan hukuman yang setimpal.

Pernah suatu ketika, ditemukan persekongkolan korup yang melibatkan puluhan pegawai negeri yang merugikan negara 20 juta Gulden. Setelah terbukti, kedua puluh orang tersebut termasuk para atasan berkebangsaan Belanda, langsung mendapat ganjaran hukuman mati. Banyak kejadian lain seperti ini. Ada kalanya putra seorang minister van Financiën menabrak mati seseorang dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Tanpa memperdulikan status ayahnya, ia harus mendekam di bui selama 15 tahun. Ketegasan hukum ini membuat rakyat Hindia Belanda terbiasa tertib mengikuti aturan dan hukum yang berlaku.

Sebelum tiba di DeVolk, keretaku melintasi sebuah kompleks apartemen rakyat di daerah Lenteng.  Terdiri dari puluhan gedung-gedung semi-kumuh di mana sebagian besar warga ibukota tinggal. Kedua orangtuaku juga pernah tinggal apartemen semacam itu sana ketika mereka kecil. Tidak ada warga Hindia Belanda yang hidup dengan keadaan lebih buruk dari para penduduk apartemen rakyat tersebut. Keadaan terbilang sangat baik  untuk negara di kawasan Asia Tenggara, dan jika dibandingkan dengan negeri Malaya atau Siam, angka kemiskinan Hindia Belanda jauh lebih rendah.

Akhirnya tiba juga SRL yang kutumpangi di Station Universiteit. Aku bergegas menuju Fakulteit Economie untuk melakukan persiapan terakhir menghadapi ujian  bersama teman-temanku. Namun ada satu pertanyaan yang tersisa sebagai hasil lamunanku sepanjang perjalanan ke kampus. Meskipun sebagian uang pajak rakyat Hindia dikirimkan sebagai upeti ke Negeri Belanda, kalau masyarakat hidup sejahtera, lantas buat apa kita berpikir untuk merdeka?


[1] Perekonomian Hindia Belanda
[2] Sekolah menengah atas untuk persiapan perguruan tinggi
[3] Bogor
[4] Depok

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves