Skip to main content

Suatu Misteri: Apakah Pendidikan Menengah di Indonesia Relevan?


Jawaban dari pertanyaan ini bagi banyak orang adalah tentunya ya. Begitu banyak penelitian (bahkan mungkin tidak dibutuhkan, saking jelasnya) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi pendapatannya di masa depan. Mereka yang memiliki ijazah S1 akan lebih baik masa depannya dibanding mereka yang tidak punya ijazah, demikian dengan SMA, SMP, bahkan SD. Ijazah melambangkan investasi yang telah dilakukan seseorang untuk memperbaiki dirinya, menjadikan diri lebih pintar, lebih berpengetahuan, dan ber-hal-hal-lainnya yang menjadikan seseorang lebih diinginkan oleh perusahaan. Ijazah adalah sinyal bahwa pemiliknya layak dibayar lebih mahal daripada mereka yang tidak memiliki ijazah.


Pertanyaannya sangat amat sederhana: apa benar demikian?

Ambil kasus Indonesia. Enrollment rate sekolah dasar kita hampir 100%, sekolah menengah 60%, namun hanya 15% yang masuk ke bangku kuliah. Karena itu, dalam tulisan ini saya akan kesampingkan sementara pendidikan tinggi, hanya yang beruntung yang dapat mengaksesnya. Mari telaah pendidikan SD-SMP-SMA kita. Kurikulum yang diajarkan di SMP dan SMA di Indonesia tidak banyak yang berguna di dunia nyata. Kebanyakan dari pelajaran-pelajaran yang ada hanyalah latihan menghafal, bahkan di pelajaran eksakta sekalipun banyak yang merupakan pelajaran menghafal rumus atau menghafal cara. Bukan berpikir. Saya merasa demikian meskipun saya sekolah di SMP-SMA swasta di Jakarta, dan saya tidak bisa bayangkan bagaimana pendidikan yang diterima siswa-siswa di pelosok.

Saya curiga, jangan-jangan mereka yang tidak lanjut ke SMP, alias langsung bekerja setelah lulus SD, justru lebih banyak menggunakan otaknya untuk berpikir dibanding mereka yang lanjut bersekolah formal. Mereka yang berdagang kaki lima, misalnya, setiap hari harus memikirkan barang apa saja yang akan mereka beli, kemana mereka harus berdagang agar laku, bagaimana memutar dan menyimpan uangnya untuk menjadi modal di hari berikutnya, dan sebagainya. Mereka yang bekerja di sawah, atau di pabrik, juga harus terus berpikir untuk mengambil keputusan sehari-hari.

Untuk betul-betul mengetahui apakah pendidikan menengah adalah relevan, kita harus membandingkan tingkat kecerdasan lulusan SMA, SMP (dengan 3 tahun pengalaman kerja), dan SD (dengan 6 tahun pengalaman kerja) dalam suatu ujian yang tidak terkait dengan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, namun yang sangat diperlukan di dunia nyata, hal-hal seperti tes logika, tes problem solving, bekerja dalam tekanan, atau hal-hal praktis lainnya. Jika dan hanya jika lulusan SMA mencetak hasil yang signifikan lebih baik, baru kita dapat mengatakan dengan yakin, ya, pendidikan menengah penting dan relevan.

Dalam tulisan ini saya hanya ingin menyatakan bahwa penelitian mengenai hal ini dibutuhkan. Saya tidak punya kesimpulan karena memang belum ada penelitian seperti itu, namun saya punya serentetan ‘jika’ yang saya kira penting.

Jika memang pendidikan menengah tidak relevan, maka para lulusan SD yang tidak yakin akan masuk universitas kelak sebaiknya langsung bekerja dan tidak lanjut sekolah, karena 6 tahun pengalaman kerja lebih berguna daripada 6 tahun latihan menghafal.

Jika memang pendidikan menengah tidak relevan, maka employers sebaiknya berhenti memperlakukan ijazah sebagai segalanya, dan akan memperoleh manfaat jika tidak mengindahkan ijazah dan mengevaluasi calon pekerjanya masing-masing sesuai dengan kriteria yang ia butuhkan.

Jika memang pendidikan menengah tidak relevan, pemerintah harus serta merta menghapus subsidi untuk pendidikan menengah, karena subsidi tersebut mengakibatkan transfer kekayaan yang salah satunya adalah dari A ke B agar B mendapatkan ijazah dan pekerjaan dengan gaji lebih besar dari A tanpa B menjadi lebih berkualitas daripada A. Ini tidak lebih dari suatu perampokan yang sistematis.

Tapi di atas semuanya, jika memang pendidikan menengah tidak relevan, berarti ada yang salah dengan seluruh sistem yang berlaku, dan perubahan total diperlukan! Kita perlu kurikulum yang lebih mengasah otak, kita perlu pelatihan dan sertifikasi guru yang benar, sistem evaluasi yang relevan, dan banyak lagi.

Saran saya, kita copy-paste saja sistem pendidikan Finlandia, atau Singapura yang lebih dekat.

Comments

Popular posts from this blog

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi. Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan". Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Buka

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves