Skip to main content

Ke Gereja Tiap Minggu, Apa Benar Wajib?

Oleh: Nathaniel Rayestu Abdulrachman


Semenjak kecil, kita sering didoktrin oleh orang tua, guru, pastor, pendeta, dll untuk senantiasa pergi beribadah di gereja setiap Minggu. Namun, apakah benar hal tersebut wajib hukumnya? Apakah benar jika kita adalah orang Kristen "Natal-Paskah" maka kita bukan orang Kristen yang baik? Mari kita telaah lagi.


Dasar kanonik dari wajibnya ke Gereja tiap minggu, berasal dari prinsip dasar iman agama-agama Abrahamik, yakni 10 Perintah Allah yang diturunkan pada Nabi Musa di Gunung Sinai. Perintah ketiga berbunyi "Kuduskanlah Hari Tuhan".

Pada jaman Kristus (circa 0 Masehi) perintah ini diinterpretasikan sebagai larangan beraktifitas pada hari Sabat. Pada jaman awal Gereja perintah ini dilakukan dengan pergi beribadah di Gereja selama ber-jam-jam. Sekarang, perintah ini diterjemahkan sebagai kewajiban pergi ke Gereja untuk merayakan Ekaristi.


Tetapi, apakah itu satu-satunya cara "menguduskan Hari Tuhan?" Bukankah doktrin ini justru mengerdilkan makna dari memuliakan Tuhan? Tentu banyak cara-cara lain yang dapat kita lakukan untuk memuliakan Tuhan. Penulis sama sekali tidak menganggap ke Gereja setiap hari Minggu tidak baik, hanya ingin memaparkan alternatif lain yang bisa kita lakukan untuk menjalankan perintah tersebut.


Pertama, melakukan kegiatan sosial. Yesus pernah bersabda, "Segala sesuatu yang kau lakukan pada saudara-Ku yang paling hina sekalipun, kau melakukannya untuk Aku" (Mat 25:40). Ayat ini dapat diartikan sebagai ajakan untuk peduli bagi mereka yang kurang beruntung. Tentu kegiatan-kegiatan sosial seperti donor darah, kunjungan-kunjungan ke panti jompo, atau buka puasa bersama anak yatim misalnya, adalah menguduskan hari Tuhan juga.

Selain itu misalnya dengan berolahraga. Tubuh kita adalah anugerah berharga yang diberikan Tuhan bagi kita. Menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh kita bisa juga diartikan sebagai ungkapan syukur kita akan anugerah Tuhan.


Masih banyak lagi hal-hal lain yang dapat kita lakukan untuk menguduskan hari Tuhan. Belajar, membaca, atau bahkan jika dirasa sangat perlu, istirahat atau refreshing juga dapat kita lakukan, demi mengembalikan semangat kita untuk bekerja selama 6 hari lainnya. Ingat, kerja adalah ibadah (Laborem Excersens), maka hal-hal yang dapat mendukung kerja kita juga dapat dikatakan menguduskan hari Tuhan.


Sekali lagi, penulis sama sekali tidak menganggap beribadah ke gereja tiap minggu adalah hal yang buruk, sesungguhnya itu hal yang baik. Penulis hanya ingin memaparkan kalau hal tersebut bukanlah keharusan, melainkan banyak alternatifnya.


Daripada ke gereja tapi tidak niat, malah ketiduran di tengah khotbah atau sibuk bermain handphone, lebih baik cari cara lain kan untuk menguduskan hari Tuhan bukan?


----------
Penulis adalah mahasiswa IE FEUI 2009 dan merupakan pengurus aktif KUKSA FEUI.



Comments

  1. Tolong baca Ibrani 10 ayat 25

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dalam konteksnya bisa kita pahami di ayat tersebut janganlah menjauhkan diri dari pertemuan ibadah, tapi ibadah sendiri merupakan arti dari persekutuan, dan bisa dilakukan dengan cara alternatif lain, seperti berkumpul bersama sekeluarga, bantuan sosial, dll

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kurikulum Sejarah Hapalan dan Pola Pikir Feodal, Kunci Elektabilitas Prabowo

Dalam dua bulan terakhir elektabilitas Prabowo seakan meroket. Beberapa alasan tentang hal ini diungkapkan banyak pengamat sepertinya cukup valid: maraknya black campaign terhadap Joko Widodo, buruknya koordinasi dan logistik kampanye pasangan nomor 2, performa pada seri Debat Capres-Cawapres, dan sebagainya. Saya punya dua hipotesis lain tentang mengapa rakyat bisa seakan menutup mata pada fakta-fakta dan seakan terhipnotis oleh sosok Prabowo Subianto. Pertama, kurikulum sejarah di sekolah-sekolah di Indonesia dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas cenderung bersifat hapalan. Saya yakin anda yang sedang membaca artikel ini masih ingat bahwa Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830, dan bahwa Perang Dunia I terjadi diawali dengan terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand. Tapi jika kita diminta mengaitkan apa yang terjadi saat itu dengan konteks kekinian untuk melihat ke depan, kita akan kebingungan. Padahal, sejarah seharusnya bukan untuk dihafal, melainkan untuk

Why Fuel Subsidies Might Actually be Pro-Poor

Just a simple thought that flashed through my mind after hearing many people say that fuel subsidies in Indonesia is pro-rich. Yes, I know that more than half of the subsidies is enjoyed by the top 10% income earners, the bottom 10% only get like 2-3% and yada yada yada, but come to think of it, maybe our government just believes in trickle down economics. It’s basically a tax cut to stimulate the economy, right? Here it goes: Fuel subsidy leaves middle-up people a little bit richer, giving them a little bit more disposable income. Now, the richer you are, the more you save, meaning that this extra income for the rich/middle up will lead to more national savings compared to if the money is distributed towards poorer people. Theoretically, a one rupiah increase in national savings should lower interest rates just enough to induce one rupiah additional investment. In another word, more savings also means more money there is in the money market to be borrowed to fund inves